Oleh: Kamaruddin Hasan
(Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal_email:kamaruddin.unimal@gmail.com)
“Dalam era akselerasi transformasi digitalisasi saat ini, manusia yang mampu bertahan dan berkreasi aktif, bukan yang paling kuat secara motoric atau pintar secara intelektual dengan daya potensi nalar cognitive dan daya imajinatif semata yang hebat, tapi mereka yang mampu beradaptasi dengan melibatkan seimbangan potensi hati dengan karaktek keperibadian yang kuat, mereka yang mampu merubah fixed mindset (saya tidak bisa melakukan hal itu) ke growth mindset (saya akan mencoba dan beradaptasi)”
Dalam sebuah kesempatan webinar tentang Digital Literasi yang diselenggaran kemkominfo bersama mitra pada 24 Juni 2021 via zoom. Saya diminta untuk menjadi salah satu pemateri tentang digital culture atau budaya Digital. Tentu saja tema tersebut saya terima, selain relevan dengan disiplin keilmuan komunikasi, juga pertimbangan fenomena kekinian era revolusi 4.0 segala sesuatu memerlukan internet dan teknologi digital.
Bahwa akselerasi transformasi digital saat ini tidak hanya terkait aspek teknis teknologi, tetapi juga aspek sosiocultural, spikologis, komunikasi dan tentu aspek kearifan lokal dalam masyarakat menjadi urgen. Kita sadar maupun tidak, sudah mengadopsi budaya digital, mulai dari berkomunikasi, berinteraksi, dalam pekerjaan, dalam berbelanja, dan lain sebagainya.
Tentu budaya digital menjadi prasyarat dalam proses melakukan transformasi digital, mengingat implementasi budaya digital lebih kepada mengubah pola pikir untuk dapat beradaptasi dengan berbagai potensi yang manusia miliki dengan perkembangan transformasi digital saat ini.
Dalam kesempatan tersebut, poin penting yang perlu dikaji lebih mendalam antara lain bahwa akselerasi transformasi digitalisasi saat ini tidak dapat dilepas dari perkembangan peradaban manusia. Perkembangan peradaban kita sebagai manusia dengan beragam kebudayaan yang kita lahirkan, akhirnya sampai pada sebuah tahapan era yang kita sebut era digital.
Perlu digarisbawahi bahwa, digitalisasi, teknologi informasi, merupakan hasil buah dari budidaya kita manusia, hasil kerja keras, hasil pemikiran dengan segala macam eksperimentasi kita manusia. Sehingga mestinya itu hasil peradaban tersebut membawa dampak positif sebagai sebuah era perkembangan peradaban. Walaupun demikian, dalam konteks kehidupan social budaya, akselerasi transformasi digitalisasi tersebut tentu selain menimbulkan konsekuensi dan dampak yang besar secara positif juga dampak negatif. Dalam proses sosial budaya yang dimaksud, tentu relasi sosial budaya mau tidak mau pasti terinterupsi dengan hasil perkembangan teknologi digital tersebut.
Akselerasi transformasi digitalisas sebagai hasil peradaban manusia tersebut tentu akan berdampak kepada perubahan dalam relasi-relasi social budaya. Relasi-relasi sosial budaya tersebut pasti berubah dalam era digitalisasi. Misalnya relasi yang dulu dilakukan secara langsung, face to face, sekarang tidak lagi, dulu pekerjaan yang dilakukan dengan menghabiskan waktu lama sekarang bisa dilakukan secara cepat, dalam pembuatan keputusan misalnya dapat dilakukan secara cepat tanpa harus bertemu, termasuk orang-orang menjadi lebih berani untuk beropini, mengutarakan pendapat, dan menunjukan keberanian untuk mengekspresikan ide, tentu hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi logis dalam peradaban manusia.
Poin penting selanjutnya adalah bahwa dalam sebuah era yang baru seperti era digital saat ini, mesti disadari bahwa hal tersebut tentu dapat membuat sebuah benturan budaya atau clash of civilization. Kebiasaan-kebiasaan tradisional yang berubah atau yang tidak dilakukan lagi, seperti tradisi memberi salam secara lansung, tradisi silaturahmi, undangan, pertemuan secara langsung, ucapan dengan kartu dan lain-lain, yang sekarang sudah berubah, hanya dengan mengirimkan satu pesan saja, artinya tradisi tersebut mulai terkikis, itu yang kita sebut sebagai clash of civilization.
Benturan budaya atau clash of civilization, akan terus terjadi, antara tradisi digital dengan tradisi tradisional. Memang sebuah budaya atau tradisi tidak bisa begitu saja menghilang atau terkikir, namun akan terjadi benturan terus menerus. Dalam perkembangan teknologi, selalu ada dua sisi, sisi mengkonstruksi atau membangun dan sisi merusak atau mendestruksi. Bahwa digitalisasi dapat membangun sebuah peradaban baru baik social budaya, perekonomian yang baru, namun juga secara bersamaan dapat mendestruksi kebiasaan tradisional yang sudah ada sebelumnya.
Kebiasaan tradisional dalam bentuk kearifan lokal misalnya bisa berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus yang mesti sanggup bertahan terhadap terpaan budaya luar. Kearifan lokal mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. Memiliki kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Memiliki kemapuan mengendalikan juga sanggup memberi petunjuk pada perkembangan budaya. Kearifan lokal inilah sebagai tradisi yang mesti terus dipertahankan sebagai hal yang spesifik dalam budaya masyarakat kita yang mencerminkan cara pandang dan hidup. Digitalisasi mesti mampu meningkatkan kepekaan dan kepedulian terhadap warisan budaya Lokal.
Dalam budaya digital, mesti diwarnai konten-konten dengan kearifan lokal yang senantiasa melekat dalam diri kita. Dalam membangun budaya digital dalam kehidupan kita perlu adanya partisipasi bersama dalam berkontribusi untuk tujuan bersama yang dilandasi kearifan lokal atau tradisi bersama. Bagaimana merubah budaya lama menjadi budaya baru yang lebih bermanfaat sesuai tujuan bersama dan tentu bagaimana memanfaatkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya untuk membentuk hal baru dalam kehidupan.
Era digitalisasi saat ini, mestinya dapat mengembangkan kapabilitas kemampuan kita dalam segala segi yang lebih berkualitas dalam perkembangan peradaban. Perubahan revolusi digital mesti ditanggapi sebagai sebuah peluang untuk dapat semakin berperan di dalam banyak hal dan semakin meningkatkan kualitas peradaban manusia. Semoga