Oleh : ZulfadhliNurdin, Juru bicara muda seudang Aceh Utara
Penandatanganan Nota Kesepahaman atau yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 silam, menandai berakhirnya perang sipil selama tiga dekade di Aceh.
Sejumlah poin menyangkut
penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bawah Indonesia disepakati di sana, termasuk di dalamnya soal HAM, amnesti dan reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat, hingga penyelesaian perselisihan.
Ketika penandatanganan MoU Helsinki, muncul respon yang beragam dari pihak pemerintah ketika itu, setidaknya ada tiga respon yang mencuat. Pertama anggapan bahwa MoU Helsinki menjadi pintu masuk kemerdekaan Aceh, Kedua MoU Helsinki dianggap jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik Aceh tanpa kekerasan dan yang ketiga mengganggap MoU Helsinki merupakan langkah yang sangat berani dengan resiko tinggi.
Bahkan ada juga yang pesimis dengan kesepakatan berdamai antara GAM dan RI. Mereka menuduh GAM memiliki agenda terselubung di balik MoU Helsinki ini. Sudah 18 tahun semenjak MoU tersebut ditandatangani, kekhawatiran tersebut tidak pernah terbukti.
Namun kesepakatan yang diupayakan setelah konflik puluhan tahun tersebut, dirasa masih jauh dari kata terwujud.
MoU Helsinki yang dulu disepakati sebagai solusi penyelesaian konflik di Aceh telah mengalami banyak ketidaksesuaian dan ketimpangan. Beberapa poin memang sudah dilaksanakan, walau tidak sesuai dengan waktu yang yang ditetapkan.
Dalam realisasinya,banyak ketidaksesuaian antara apa yang sudah disepakati dalam butir-butir MoU dengan apa yang disahkan dalam undang-undang.
Apa yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Apalagi ada sejumlah poin kesepakatan yang sampai hari ini belum juga direalisasikan.
Semakin lama, poin-poin yang telah disepakati dalam MoU Helsinki tersebut semakin mengarah pada ketidakjelasan dan semakin ambigu.
Lalu bagaimana dengan keseriusan pemerintah RI untuk untuk merealisasikan MoU Helsinki? 18 tahun setelah kesepakatannya, MoU Helsinki sepertinya tidak lagi menjadi standar dan acuan pemerintah RI dalam segala kebijakan dan keputusannya menyangkut Aceh.
Ketidakjelasan sikap pemerintah RI atas MoU akan terus menjadi tontonan belaka di Tengah rakyat Aceh.
Sebenarnya penyelesaian atas polemik tersebut menjadi tanggung jawab Aceh Monitoring Mission (AMM). PNamun, AMM telah dibubarkan sejak 15 desember 2006. Sejak saat itu MoU Helsinki sudah mulai terombang-ambing bak perahu tak bertuan.
Lalu pada tahun 2019, DPRA sempat membentuk Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan UUPA yang diwakili oleh unsur dewan dan akademisi.
Pada tahun 2021, tim yang serupa juga dibentuk oleh Gubernur Aceh atas perintah Wali Nanggroe, dengan nama yang berbeda; Tim Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan MoU Helsinki.
Tidak sampai disitu, Presiden Jokowi pun telah menunjuk Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko untuk menyelesaikan polemik ini. Tetapi, tetap saja tidak ada titik terang !
Kunjungan-kunjangan petinggi Aceh ke Jakarta untuk advokasi MoU Helsinki justru semakin mempertegas ketidakseriusan pemerintah RI dalam merealisasikan MoU tersebut. Terkesan mengemis padahal itu adalah hak Aceh dan kewajiban pusat untuk memberikan sesuai dengan amanat dari MoU.
Ketidakpastian ini sudah cukup mengindikasikan bahwa pemerintah RI tidak peduli dan mengabaikan kepentingan Aceh. Hal ini dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan dan bermartabat.
Dalam kasus bendera Bintang Bulan, Sejak disahkan dalam Qanun Aceh, polemik tentang Bendera ini telah memakan banyak korban. Padahal, bendera adalah suatu produk hukum yang sah. Tetapi ketika bendera itu dikibarkan oleh masyarakat, dengan cepat ditindak oleh aparat.
Harapannya, MoU Helsinki tidak lagi menjadi “haba mameh”, jika pemerintah RI tidak ingin dicap ingkar terhadap Janjinya sendiri.
Yang menjadi catatan bagi pemerintah adalah komitmen terhadap perdamaian di Aceh harus sejalan dengan implementasi dan realisasi MoU yang telah disepakati.
Pemerintah pusat harus menunjukkan sikap profesional dan serius untuk mewujudkan seluruh butir MoU, mengingat banyak sekali nyawa rakyat Aceh yang melayang.