Oleh :
Assoc Prof. Dr. T.M. Jamil TA, M.Si
Pengamat Politik, USK, Banda Aceh
Secara Hukum, Bangsa Indonesia sudah bersepakat bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi pelaksanaannya bak jauh panggang dari api. Rakyat kerap kali dicederai melalui seperangkat kebijakan para penyelenggara negara–yang notabene hanya sebatas menjalankan amanah rakyat. Padahal, konsep kedaulatan rakyat sejatinya meletakkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Menurut para pembaca, sejauh mana kedaulatan rakyat sudah dipraktikkan dalam kehidupan bernegara?
Dalam UUD 1945 Asli dan hasil amandemen sama-sama meletakkan kedaulatan berada ditangan rakyat, tetapi memiliki mekanisme pelaksanaannya berbeda. Musyawarah para founding fathers memutuskan bahwa kedaulatan rakyat “dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Beleid ini dapat dimengerti, karena penyelenggara negara yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu hanya anggota MPR. Namun pada amandemen ketiga frasa itu dihapus, konsep pelaksanaan kedaulatan rakyat menjadi “dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar”.
Musabab perubahan konsep pelaksanaan kedaulatan rakyat, salah satunya, karena kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan disejajarkan dengan lembaga tinggi Negara yang dibentuk atas dasar perintah langsung UUD 1945: Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Pertanyaannya, mengapa lembaga tinggi Negara tersebut disejajarkan?
Jika legitimasi rakyat menjadi penting, bagaimana logikanya BPK, MA, MK, dan KY juga melaksanakan kedaulatan rakyat? Sebab, para pimpinan lembaga tersebut tidak dipilih melalui pemilu–sebagai proses untuk mendapatkan legitimasi rakyat. Anehnya lagi, para pimpinan lembaga itu dipilih oleh DPR yang sejatinya memiliki kedudukan sejajar secara kelembagaan.
Lain halnya dengan presiden dan wakil presiden yang juga dipilih langsung oleh rakyat, setelah kewenangan MPR memilih presiden dihapuskan saat amandemen ketiga pula. Lantaran presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat, maka kekuasaannya sebatas melaksanakan kedaulatan rakyat pula, dengan kata lain hanya menjalankan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang menjadi kehendak rakyat. Namun pertanyaannya, sejauh mana pilpres sebagai perwujudan kedaulatan rakyat secara substantif?
Banyak pihak meyakini bahwa mekanisme pilpres hanya melaksanakan kedaulatan rakyat secara prosedural. Selebihnya partai politik (parpol) lah yang berwenang, termasuk mengusung capres-cawapres. Uniknya lagi, hanya elite parpol lah yang sibuk wara-wiri mencari capres-cawapres pada Pilpres 2024. Jangankan mengedepankan aspirasi rakyat, menyerap aspirasi kader saja belum menjadi hal yang lumrah dalam tindak-tanduk parpol di negeri ini.
Padahal, parpol bukan pemegang kedaulatan rakyat, melainkan sarana partisipasi politik masyarakat. Artinya, parpol merupakan sarana rakyat untuk mengimplementasikan kedaulatannya sebagai warga Negara. Kini yang menjadi tanya, apakah parpol saat ini sudah mengkooptasi kedaulatan rakyat?
Dalam catatan saya pribadi, Secara normatif, prinsip kedaulatan rakyat sudah sudah diakomodir oleh UUD 1945. Pertanyaannya, bagaimana prinsip kedaulatan rakyat itu diakomodasi? Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal ini mengandung makna bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat harus berdasarkan pada nilai-nilai konstitusi secara keseluruhan. Misalnya, bagaimana cara memilih presiden, kepala daerah, anggota legislatif, termasuk juga bagaimana hak-hak rakyat dijamin dalam konstitusi. Karena UUD 1945 bersifat umum (global), maka dibutuhkan penjabaran lebih lanjut berupa peraturan perundang-undangan.
Berbicara mengenai pembentukan undang-undang yang menyangkut kedaulatan rakyat sebagai manifestasi dari ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terdapat undang-undang yang diperintahkan oleh UUD 1945 baik secara eksplisit ataupun implisit. Selain itu, ada juga undang-undang yang dibentuk berdasarkan aspirasi rakyat.
Jadi, bukan berarti pembentukan undang-undang itu hanya mengatur hal yang sudah diatur dalam UUD 1945, tetapi memungkinkan pula mengatur hal di luar perintah konstitusi sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Perubahan konsep pelaksanaan kedaulatan rakyat dari MPR ke UUD 1945 terjadi saat amandemen ketiga, karena sebelumnya kedaulatan rakyat ini disimplifikasi menjadi kedaulatan MPR. Praktik ketatanegaraan semacam ini terbukti pernah menghasilkan rezim yang otoriter, karena MPR sebagai manifestasi kedaulatan rakyat justru pengisian keanggotaannya tidak lepas dari campur tangan rezim.
Setelah reformasi, kedudukan MPR dibuat setara dengan lembaga Negara yang lain. Sehingga, tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara. Pun, tidak ada lembaga yang bisa mengklaim sebagai pemilik otoritas sebagai pelaksana UUD 1945. Karena, pelaksana UUD 1945 sudah dibagi menjadi kewenangan beberapa lembaga Negara. Desain kelembagaan yang setara seperti sekarang ini, ternyata memunculkan problem ketatanegaraan yang sulit diselesaikan.
Misalnya, DPR dan DPD berkedudukan setara tetapi justru DPD memiliki kewenangan yang inferior di bawah DPR. Contoh lain, kedudukan MK setara dengan DPR tetapi dalam beberapa praktik ada putusan MK yang tidak diindahkan oleh pembentuk undang-undang (DPR). Ini menunjukkan bahwa mekanisme check and balances belum berjalan dengan baik. Padahal, mekanisme tersebut guna menjamin tidak adanya lembaga Negara yang superior, juga menghindari perlakuan sewenang-wenang lembaga Negara kepada warga Negara.
Jika ingin kedaulatan rakyat bisa berjalan secara substantif, mestinya rakyat berdaulat seutuhnya dalam segala bidang. Pertama, hak-hak rakyat harus terjamin dan dijamin. Hak-hak rakyat tidak boleh dicederai atau dibatasi, kecuali melalui pembatasan melalui cara-cara yang konstitusional. Kedua, rakyat harus terlibat dalam segala proses, baik dalam rekruitmen kepemimpinan maupun proses penyusunan kebijakan serta pengawasan pelaksanaan kebijakan.
Dalam rekruitmen kepemimpinan, rakyat mestinya terlibat dalam proses menentukan calon-calon, bukan sekadar memilih calon yang sudah ditentukan parpol. Sementara dalam proses penyusunan kebijakan, memang keterlibatan masyarakat sudah ada, tapi belum optimal karena masih bersifat prosedural. Sedangkan dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan, ini juga kadang-kadang menemui kendala karena mekanismenya belum jelas. Sebagai Negara modern yang memilih sistem demokrasi, maka pintu masuk pelaksanaan kedaulatan rakyat mau tidak mau melalui partai politik. Sementara, di sisi yang lain parpol belum sepenuhnya berbenah untuk mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang substantif.
Saat ini, demokrasi proseduralnya sudah dilaksanakan tetapi belum masuk pada wilayah demokrasi substantif. Contohnya pada pilpres, masing-masing parpol diberi kewenangan untuk menentukan capres, yang terbaca oleh masyarakat adalah kesibukan para elite menentukan calon, sementara rakyat tidak banyak diajak “bicara”. Meski begitu, kalau dikatakan parpol mengkooptasi kedaulatan rakyat tentu tidak juga. Karena untuk menyalurkan aspirasi harus melalui parpol. Hanya saja peran ideal parpol sebagai penyambung lidah masyarakat belum diimplementasikan dengan sebaik-baiknya.
Kedaulatan rakyat tergerus secara signifikan oleh amandemen UUD 1945 berkaitan dengan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang lemah, terutama dalam memilih presiden. Semenjak presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka campur tangan uang (asing) menjadi tidak terhindarkan. Pilpres membutuhkan modal sangat besar. Bila dihitung secara kasar biaya kampanye bisa mencapai angka minimal Rp10 triliun! Dana itu untuk biaya konsultan, mahar rekomendasi partai, tim sukses, saksi, iklan, mobilisasi massa, mobilisasi kandidat, dan sebagainya. Dari mana uang sebanyak itu? Iuran rakyat jelas tidak mungkin. Kas partai juga mustahil. Iuaran pengusaha nasional juga jauh. Emang siapa pengusaha nasional yang bisa dan mau menyumbang uang ratusan milyar?
Mau tidak mau, para kandidat akan mengandalkan dukungan finansial dan infrastruktur pemenangan pada kekuatan asing. Dan harus kita ketahui, dalam jagat politik dunia saat ini ada beberapa poros utama yang selalu menjadi patron bagi para calon presiden, seperti 1) Vatikan; 2) Lobi komunitas Yahudi; 3) Chinese overseas; 4) Rusia; 5) Temporary alignment (investor) kawasan. Semua capres memerlukan dukungan mereka. Seorang capres kadang didukung oleh sebagian atau seluruh patron itu.
Tentu saja dukungan tidak akan diberikan secara gratis. Kebijakan akan didiktekan secara detail, termasuk penentuan komposisi kabinet dan jabatan strategis lain. Disinilah pangkal hilangnya kedaulatan rakyat itu. Tidak heran kiranya, kadang kebijakan pemerintah (siapapun dan dari partai manapun) tidak nyambung dengan kepentingan rakyat, karena paket kebijakan sudah didesain oleh para sponsor. Entahlah !!!
Nanggroe Aceh Darussalam, Kamis 11 Mei 2023