Lhokseumawe – Wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui legislatif kembali menjadi perbincangan hangat dalam diskusi yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Malikussaleh, Jumat (20/12/2024). Diskusi ini bertujuan mengeksplorasi kelebihan dan kekurangan Pilkada langsung oleh rakyat dibandingkan oleh legislatif, dengan harapan lahir gagasan konstruktif dari para akademisi lintas disiplin ilmu.
Dipandu oleh Kamaruddin Hasan, diskusi berlangsung di aula Fisipol dan dihadiri oleh para dosen Universitas Malikussaleh. Dekan Fisipol, Teuku Zulkarnaen, SE. MM., PhD, membuka acara dengan menegaskan bahwa isu Pilkada selalu menarik perhatian karena menyangkut aspek fundamental demokrasi, seperti kedaulatan rakyat, legitimasi politik, dan partisipasi masyarakat.
“Pilkada seringkali memunculkan fenomena menarik, baik dari sisi prosedur pemilihan hingga regulasi hukum. Kita perlu mencari pendekatan yang seimbang antara menjaga hak rakyat dan memperbaiki proses demokrasi,” ungkap Zulkarnaen.
Dalam diskusi, berbagai isu dibahas, termasuk potensi money politics, legitimasi calon kepala daerah, hingga dampak sosial dari sistem Pilkada. Sebagian peserta menilai bahwa pemilihan oleh legislatif dapat menghemat anggaran dan mengurangi polarisasi politik. Namun, peserta lain mengingatkan bahwa pendekatan tersebut berisiko mengurangi partisipasi rakyat dalam demokrasi.
Dr. Alfian, salah seorang fasilitator diskusi, menyatakan kekhawatirannya terhadap hilangnya peluang bagi calon independen jika Pilkada dilakukan oleh legislatif. “Anggota legislatif adalah representasi partai politik. Bagaimana dengan calon independen yang tidak berafiliasi dengan partai? Ini harus menjadi perhatian serius,” tegasnya.
Beberapa peserta juga mengungkapkan bahwa pemilihan oleh legislatif dapat memangkas hak rakyat untuk terlibat langsung dalam proses demokrasi. Salah seorang peserta menyoroti bahwa legislatif bukanlah representasi murni rakyat, melainkan representasi partai politik. “Jika Pilkada dilakukan oleh legislatif, legitimasi politik kepala daerah bisa dipertanyakan,” ujarnya.
Di sisi lain, ada pandangan bahwa efisiensi anggaran menjadi alasan kuat untuk mempertimbangkan Pilkada melalui legislatif. “Setiap Pilkada membutuhkan biaya besar. Mungkin lebih bijak jika anggaran itu dialihkan untuk program pembangunan,” usul salah satu peserta.
Diskusi yang berlangsung hangat itu menghasilkan berbagai masukan. Di akhir acara, Teuku Zulkarnaen mengingatkan bahwa model Pilkada masa depan harus mempertimbangkan semua aspek secara holistik, mulai dari resiko sosial, ekonomi, hingga dampak terhadap kedaulatan rakyat.
“Apapun keputusan yang diambil, kita harus memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan partisipasi rakyat tidak dihilangkan. Demokrasi harus memberi ruang untuk semua pihak,” tutup Zulkarnaen.