Menerobos Banjir, Membopong Rindu

“Kisah Mufliza November 2025 yang Tak Pernah Lekang Dimakan Waktu”

Aceh– Di penghujung tahun 2025, langit Aceh seakan menumpahkan seluruh keluhannya. Hujan turun seperti tirai kelabu yang tak kunjung tersibak, membawa serta genangan yang perlahan menjelma menjadi lautan air bah. Bagi sebagian orang, itu hanyalah musim hujan yang keterlaluan.

Namun bagi Mufliza, seorang tenaga kependidikan di Universitas Malikussaleh, hari itu menjadi babak paling genting sekaligus paling menggetarkan dalam hidupnya.

Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa tugas kampus yang sederhana, mengantar tamu ke Banda Aceh akan berubah menjadi kisah panjang tentang keteguhan, kecemasan, dan rindu yang menggelegak seperti air yang terus meninggi.

Perjalanan pulang itu semestinya berlangsung biasa-biasa saja. Namun setibanya di Pidie Jaya, hujan turun bagai amarah langit. Deras, pekat, dan tak mengenal jeda. Dalam hitungan jam, jalanan berubah menjadi sungai, halaman rumah menjadi telaga dan pusat kota Pidie Jaya menjelma lautan air bah yang menenggelamkan harapan banyak orang.

Mufliza dan rekannya, Subhani, terjebak tanpa pilihan. Mereka mencoba mencari jalan lain, namun semua sama, tenggelam dalam bah.

Tanpa pikir panjang, mobil akhirnya dibelokkan ke atas sebuah jembatan dekat Kantor Bupati. Di sanalah mereka bertahan hingga pukul tiga sore dalam kabin mobil dengan kondisi perut yang kelaparan dan pikiran yang dipenuhi gambaran keluarga yang mungkin juga sedang berjuang di tengah bencana.

“Bagaimana kondisi rumah?”

“Sampai di mana airnya?”

“Apakah mereka baik-baik saja?”

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa jawaban dibenak mereka. Sinyal seluler mati total, seolah seluruh harapan komunikasi terputus dari dunia luar.

Keberanian yang Dipaksa Waktu

Ketidakpastian adalah rasa yang paling memakan energi dan Mufliza merasakannya menyesap hingga ke tulang.

Tak bisa menunggu lebih lama, ia menatap banjir yang mengamuk,  lalu memilih menerobosnya.

Dengan doa yang lirih dan tekad yang mengeras, mobil diarahkan menuju Ulee Glee. Jalan alternatif yang mereka tempuh bukan hanya melelahkan, namun adalah perjalanan penuh rasa was was. Di kanan kiri, air melintasi bahu jalan, mengalir seperti sungai yang salah alamat. Namun langkah mesti mesti terus diayun.

Harapan satu-satunya, “Saya harus sampai ke keluarga. Apa pun risikonya,” gumam pria itu dalam hati

Namun ujian belum selesai.Sesampainya di Kuta Blang, jembatan penghubung putus total. Jalan pulang terhapus dari peta.

Dari Mobil ke Boat: Perjalanan yang Tak Pernah Dibayangkan

Mereka akhirnya menitipkan mobil di rumah kerabat Subhani di Bireun, lalu perjalanan berlanjut ke Kuala Jangka. Dari sana, mereka naik boat cewek (sebuah perahu motor ukuran kecil) menuju Krueng Mane, Aceh Utara. Delapan orang duduk berdesakan di atas perahu motor kecil itu, ditemani suara mesin yang serak dan doa dalam hati masing-masing.

Biaya 150 ribu per orang bukan lagi sekadar angka. Itu adalah harga untuk pulang, harga untuk sebaris kabar yang menenangkan jiwa. Dua orang santri bahkan digratiskan oleh pemilik boat di tengah bencana, kadang kebaikan muncul seperti lilin kecil yang sangat berarti.

Setiba di Krueng Mane, mereka berpencar. Subhani turun di Bungkaih, memaksa dirinya mengarungi banjir demi berjumpa keluarga tercinta.

Sementara itu, Mufliza tetap berusaha mencari jalan lain, meski seiring air yang semakin tinggi, rindupun semakin dalam.

Namun takdir berkata lain, sepeda motor yang ia tumpangi mogok dua kali. Jalan-jalan terendam. Tidak ada celah untuk menerobos lagi. Ia kembali ke Krueng Mane, gagal, namun tidak kalah dalam berjuang.

Di sana ia memutuskan hal yang paling nekat hari itu, berjalan kaki melalui jalan elak, menumpang truk, dan ketika truk tak bisa lagi melaju karena tingginya air ia kembali turun, menggulung celana dan melangkah sendiri ke tengah banjir yang menggigit. Setiap langkah seperti menapaki jarak antara doa dan kenyataan.

Ketika sinyal akhirnya hidup sekejap, ia berhasil menghubungi keluarganya. Mereka bergegas menjemput di simpang jalan elak dan ketika sosok-sosok yang dirindukan itu muncul-basah, cemas, namun tersenyum lega. Mufliza tak kuasa menahan genangan lain yang memenuhi matanya.

Air bah bisa merendam jembatan, memutus jalan, bahkan menenggelamkan kendaraan. Tapi tidak ada yang bisa merendam rindu seorang ayah pada istri dan anaknya. Pertemuan yang menghapus semua letih.

Sabtu siang itu, tatapan yang hangat menutup perjalanan panjang penuh perjuangan. Di antara bau lumpur yang masih menempel dan tubuh yang lunglai, ada satu kata yang paling kuat. Yaitu aku pulang.

Inilah sepotong kisah tentang Mufliza, staf tendik FISIP Universitas Malikussaleh, yang terjebak banjir dan menempuh perjalanan penuh risiko hanya untuk kembali ke rumah. Dalam derasnya hujan, deras pula keberaniannya mengalir. Dalam pekatnya malam, rindunya menjadi cahaya. Sebuah kisah yang mungkin tidak tercatat di berita nasional, namun tercatat sangat dalam di hatinya dan kini, barangkali, di hati kita juga. (Muchlis Gurdhum)

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait