Kisah Kepedulian Teuku Kemal Fasya Saat Banjir Besar Aceh 2025
Di Aceh, nama Teuku Kemal Fasya sudah akrab di telinga dunia akademik. Ia dikenal sebagai sosok yang tegas dalam pemikiran, tekun dalam riset, dan gigih memperjuangkan wajah baru pendidikan. Namun, akhir November 2025 membentangkan satu bab lain dalam dirinya bab yang tak tertulis di CV akademik, namun sangat terasa di hati banyak orang, yakni bab tentang kepedulian yang lebih besar dari pada kata-kata.
Hari itu, Aceh digulung oleh banjir bandang terburuk dalam puluhan tahun terakhir. Air datang tiba-tiba, menghantam rumah-rumah, menenggelamkan kenangan, dan membuat sebagian warga, termasuk dosen serta mahasiswa Universitas Malikussaleh, berlarian menyelamatkan diri tanpa sempat menggenggam apa pun selain doa.
Dalam hiruk pikuk itu, Teuku Kemal Fasya tidak menunggu instruksi, tidak menunggu komando. Bersama istrinya, Sri Wahyuni, ia merogoh kocek dan mengantikannya dengan sejumlah air mineral, beberapa kardus mie instan, dan persediaan sederhana lainnya. Tidak banyak, mungkin bagi sebagian orang terlihat biasa. Tapi di tengah bencana yang merenggut ruang bernapas, yang sederhana itu berubah menjadi harapan.
Mereka menerjang banjir, langkah demi langkah, tanpa berpikir dua kali tentang dinginnya air atau risiko yang mengintai. Yang mereka tahu hanya satu, ada saudara yang harus segera dibantu.
“Hari pertama itu… kami benar-benar kelaparan.”
Begitu tutur Muchlis, salah seorang dosen yang menjadi korban banjir. Bahan makanan langka, hampir mustahil dicari, karena toko bahan makanan juga tutup. Sebagian warga belum makan sejak malam sebelumnya. Banyak yang hanya memakai baju yang melekat di badan harta lainnya lenyap dibawa arus.
“Tiba-tiba pak Kemal Fasya datang bersama istrinya, membawa air mineral dan mie instan. Bagi kami, itu bukan lagi sekadar bantuan. Itu seperti sebuah keberkahan.”
Muchlis bukan satu-satunya, para warga di sekitar kampus juga ikut merasakan uluran tangan itu. Bantuan yang mungkin bagi sebagian orang tidak seberapa, namun pada hari pertama bencana, sepotong roti pun bisa menjadi penyangga harapan.
Dan mereka tidak berhenti. Setelah membagikan bantuan pertama, Teuku Kemal Fasya dan Sri Wahyuni kembali bergerak. Menyisir jalan, menembus area yang masih memungkinkan dilalui, mengirimkan makanan ke dosen, staf, mahasiswa, dan siapa pun yang membutuhkan. Ada lokasi-lokasi yang berbahaya, di mana arus terlalu kuat dan tanah terlalu licin. Tidak semuanya bisa dijangkau, namun mereka berusaha sebisa mungkin.
Itu bukan program resmi, bukan bagian dari proyek pemerintah, itu hanyalah aksi spontan dari hati, dari rasa yang paling manusiawi, bahwa di tengah bencana, tak seorang pun boleh merasa sendirian.
Dalam dunia yang sering melabeli manusia dengan gelar dan jabatan, kisah ini mengingatkan kita bahwa ada sesuatu yang jauh melampaui semua itu, bahwa kepedulian tidak memerlukan struktur, anggaran, atau panggung. Ia hanya butuh niat, keberanian, dan ketulusan.
Dan di banjir besar Aceh 2025, Teuku Kemal Fasya dan istrinya memilih untuk menjadi bagian dari cahaya kecil yang menghangatkan hari-hari gelap banyak orang.
Karena kadang, pahlawan bukan mereka yang datang dengan rombongan besar.
Melainkan mereka yang berjalan pelan, membawa sekantong mie instan dan sebotol air tetapi mengantarkannya dengan seluruh hatinya. (Muchlis Gurdhum)





