ACEH DI UJUNG KESABARAN ALAM

 

Kamaruddin Hasan*

Aceh hari ini seperti ruang sunyi yang sedang ditegur alamnya sendiri. Banjir datang hampir tiap tahun, longsor menyapu lereng-lereng gunung, sungai meluap tanpa ampun, hutan menipis dan laut perlahan kehilangan keseimbangannya. Semua terjadi berulang, seolah alam sedang berkata dengan suara yang semakin keras; “Aku sudah lelah dan muak. Kita saja tidak mendengar, tidak mau mendengar, menyepelekan atau bahkan mengabaikannya.

Aceh yang selama berabad-abad dikenal sebagai serambi mekkah, tanah iman, tawakkal, tanah perlawanan. Negeri para ulama, negeri para syuhada, negeri darussalam, negeri syariat, negeri Iskandar Muda, sebagai bansa teuleubeh ateuh roung donya. Negeri yang paling sering berbicara tentang iman, syariat dan moralitas.

Namun dalam praktik pengelolaan lingkungan alam, sering kali nilai spiritual terpisah dari kebijakan pembangunan. Sangat baik rajin membangun masjid, tetapi abai menjaga alam hutan, itu tidak baik. Fasih berbicara tentang halal-haram, tapi lupa bahwa merusak lingkungan alam sama dengan dosa sosial. Aceh sama sekali tidak kekurangan nilai dan simbol negeri syariat, tetapi kehilangan etika ekologis tauhid, yang seharusnya manusia sebagai khalifah dimuka bumi raḥmatan lil-‘ālamīn rahmat bagi alam semesta, bukan kerakusan atas bumi.

Kini Aceh berdiri di ujung kesabaran alam. Bukan karena takdir semata, melainkan karena akumulasi kesalahan manusia yang terlalu lama diabaikan, dibenarkan, bahkan dinormalisasi atas nama pembangunan dan mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis ekstraksi. Padahal pendekatan ekonomi ekstraksi; paling primitive, kuno, bodoh, tolol alias ngeet.

Akhirnya Aceh kembali tenggelam; sungai meluap, tanah longsor, rumah-rumah rakyat hilang entah kemana. Gampong banyak hilang ditelan banjir, lumpur dan kayu-kayu gelondongan yang berserakan di mana-mana, bahkan ratusan meninggal dunia. Sawah, tambak, ternak, rumah, harta benda, tempat usaha, keude, pasar tengelam diterjang banjir, lumpur dan kayu-kayu gelondongan.

Setiap musim hujan kini selain pertanda berkah, juga menghadirkan kecemasan yang berulang dan mendalam. Bahkan bagi banyak warga di gampong-gampong, hujan tidak lagi dinanti, namun mulai ditakuti. Alam Aceh seolah sedang berbicara, mula-mula pelan, kini semakin keras. Lihat saja, dalam satu dekade terakhir, Aceh mengalami peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor. Fenomena ini tidak lagi dapat dipahami sebagai kejadian alam semata, melainkan sebagai akumulasi kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Bencana hadir terlalu sering, terlalu dekat, dan terlalu merata. Seolah alam sedang berada di ujung kesabarannya.

Secara ilmiah, bencana ekologis bukanlah peristiwa tunggal. Bencana ini mata rantai sebab-akibat. Data kebencanaan menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi banjir dan longsor di Aceh berkorelasi kuat dengan deforestasi, alih fungsi lahan, tambang terbuka, perkebunan skala besar dan tata ruang yang abai daya dukung lingkungan.

Hutan Aceh yang seharusnya menjadi benteng ekologis Sumatera, perlahan terkoyak, daerah tangkapan air rusak, Sungai-sungai kehilangan sempadan alaminya. Gunung dilukai oleh galian-galian tambang dan deforestasi. Ketika hujan turun, air tidak lagi diserap, tetapi dilepaskan dengan kemarahan yang meluluhlantakan semua yang menghadangnya. Secara sains lingkungan, realitas ini bukan fenomena misterius, tapi hukum alam membuktikannya.

Aceh bukan negeri yang asing dengan musibah, sejarah panjangnya dipenuhi berbagai ujian cobaan, sebut saja; perang kolonial, konflik bersenjata, gempa bumi, tsunami, banjir dan longsor. Namun yang terjadi hari ini terasa berbeda. Jika dulu bencana hadir sebagai peristiwa besar yang jarang, kini mulai menjelma rutinitas tahunan. Dari wilayah pesisir hingga pedalaman, dari daerah aliran sungai hingga lereng pegunungan, ancaman datang berulang dan sering kali dengan dampak yang sama; kehilangan nyawa, kerugian, trauma dan ketidakpastian.

Musibah banjir dan longsor bukan sekadar kehendak langit, Alam tidak pernah murka. hanya bereaksi saja. Hutan yang gundul, dialih fungsikan, sungai yang disempitkan, gunung yang dilukai dan rawa yang ditimbun contoh luka-luka ekologis yang pelan-pelan berubah menjadi bencana, air tidak lagi diserap tanah dan vegetasi, namun dilepaskan sekaligus ke permukiman.

Aceh sesungguhnya memiliki modal ekologis yang besar. Sebagai provinsi dengan salah satu tutupan hutan terluas di Sumatra, Aceh seharusnya memiliki ketahanan lingkungan yang lebih baik. Namun alih fungsi lahan, pembukaan hutan, aktivitas ekstraktif, serta tata ruang yang lemah telah menggerus fungsi ekologis tersebut. Ketika hujan ekstrem datang yang kini makin sering akibat perubahan iklim bencana menjadi keniscayaan, bukan kejutan.

Maka dalam hal ini, sangat diutamakan kejujuran kolektif, mendengar hati nurani, kembali ke fitrah sebagai khalifah, adanya keseimbangan antara kecerdasan intelektual/pengetahuan, spiritualitas dan emosional. Sehingga kalau ada yang menyebut bencana sebagai takdir tanpa evaluasi kebijakan manusia adalah bentuk pengingkaran terhadap ilmu pengetahuan sekaligus moralitas, etika public dan etika ekologis tauhid.

Allah SWT, telah mengingatkan: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kerusakan alam dengan perbuatan manusia. Dalam perspektif modern, pesan ini sejalan dengan pendekatan ekologi yang menempatkan krisis lingkungan sebagai hasil interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Ayat tersebut bukan sekadar nasihat dan pedoman spiritual, melainkan cermin etika ekologis.

Namun dalam praktik, sering kali menempatkan bencana semata sebagai ujian Allah. Perspektif ini sah secara teologis, tetapi menjadi berbahaya jika menutup evaluasi kebijakan manusia. Dalam etika Islam sendiri, manusia ditempatkan sebagai khalifah penjaga bumi, bukan penguasa yang bebas mengeksploitasi. Menjadi khalifah berarti bertanggung jawab, menahan diri dan menjaga keseimbangan. Ketika izin mudah dikeluarkan, ketika tata ruang diabaikan, ketika kepentingan jangka pendek mengalahkan keselamatan jangka panjang, maka yang terjadi bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan kegagalan moral.

Alam Aceh tidak butuh pidato panjang, yang dibutuhkan keputusan berani, keputusan yang berpihak pada keselamatan rakyat dan keberlanjutan hidup.Tentu, kritik ini bukan penolakan terhadap pembangunan, Aceh membutuhkan pembangunan, tentu pembangunan berpusat pada manusia (people centerd development). Pembangunan tanpa berpusat manusia, tanpa etika lingkungan hanya akan memindahkan risiko ke rakyat dan generasi mendatang.

Aceh sangat membutuhkan pergeseran paradigma, dari pembangunan eksploitatif, ekonomi ekstraksi. Menuju pembangunan berkelanjutan berbasis moralitas dan etika. Integrasi sains lingkungan, kebijakan publik, kearifan lokal dan nilai keagamaan bukan sekadar wacana moral, melainkan keharusan strategis untuk mengurangi risiko bencana dan konflik sosial di masa depan .

Aceh sesungguhnya ada solusi di depan mata, sebagai jalan pulang dengan menyatukan Iman, Ilmu dan Alam, yaitu warisan kearifan lokal Aceh yang kuat, hukum adat, sistem pengelolaan berbasis komunitas yang selama ratusan tahun menjaga keseimbangan hidup. Nilai-nilai ini perlu dihidupkan dan diperkuat kembali, bukan sebagai romantisme masa lalu, tetapi sebagai solusi kontekstual masa depan.

Di saat yang sama, kebijakan harus berbasis data dan ilmu pengetahuan. Perencanaan tata ruang, pengelolaan daerah aliran sungai dan perlindungan kawasan hutan harus menjadi prioritas. Tanpa itu, doa dan teknologi akan sama-sama kehilangan daya guna. Di sinilah nilai-nilai agama menemukan makna publiknya. Agama bukan sekadar ritual, tetapi etika hidup bersama, dengan sesama manusia dan dengan alam. Ketika iman mendorong kebijakan yang adil dan ilmu pengetahuan menuntun praktik yang tepat, maka pembangunan tidak lagi menjadi ancaman bagi lingkungan.

Sebelum kesabaran alam benar-benar habis, selalu ada kesempatan untuk berubah sebelum penyesalan datang tanpa jeda. Jika hutan terus menyusut, banjir akan menjadi rutinitas. Jika alam runtuh, iman kehilangan rumahnya. Pada tahap tersebut, yang tersisa bukan lagi perdebatan kebijakan, melainkan penyesalan kolektif.

Aceh hari ini berada di persimpangan, apakah memilih mendengar suara alam dan menata ulang cara hidup, atau terus menunda hingga kesabaran alam benar-benar habis? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan bukan hanya masa depan Aceh, tetapi juga martabat manusia yang mengaku beriman, berakal dan beradab.

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait