Di Kesunyian Banjir, Para Alumni Itu Datang Membawa Harapan

Penghujung tahun 2025, ketika banyak orang masih berusaha mengeringkan sisa air di teras rumah masing-masing dari sisa banjir dahsyat yang melanda dan memporak-porandakan negeri. Alumni dan dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh, tidak tinggal diam,  justru mereka mengisi dengan bergerak menuju titik-titik banjir terdalam di Aceh Utara, tempat di mana kesunyian, lumpur, dan kegelapan masih menjadi teman harian para penyintas banjir.

Gerakan itu datang dari Ikatan Alumni Magister Administrasi Publik (IKA MAP) FISIP Universitas Malikussaleh, berkolaborasi langsung dengan PMI Aceh Utara. Sebuah aksi kemanusiaan yang lahir dari kepekaan hati, setelah melihat banjir yang melanda sejumlah gampong telah mengubah wajah kehidupan masyarakat dalam sekejap.

Ketua Jurusan Administrasi FISIP Universitas Malikussaleh, Nurhafni, menjadi salah satu motor penggerak kegiatan ini. Ia menceritakan bahwa langkah ini bukan sekadar rutinitas tanggap bencana melainkan panggilan nurani.

“Banyak informasi di media sosial, masyarakat menjerit kelaparan, kehausan. Kebutuhan dasar belum merata. Ada gampong-gampong yang masih terisolir karena akses sulit dan keterbatasan kemampuan daerah menangani kondisi tersebut. Itu menggugah hati kami,” ujar Nurhafni.

Ia menyebut bahwa para alumni MAP FISIP Unimal juga merasakan kepedihan yang sama. Banyak dari mereka berada di wilayah terdampak atau memiliki keluarga yang merasakan langsung bencana itu. Dari percakapan sederhana di grup WhatsApp alumni, lahirlah keputusan untuk membuka open donasi, yang kemudian mengalir dari para alumni, dosen FISIP, hingga dermawan dari luar Aceh.

Aksi ini mendapat dukungan penuh dari Ketua PMI Aceh Utara H. Tantawi, yang juga merupakan Ketua IKA MAP FISIP Unimal. Kolaborasi ini memungkinkan tim bergerak lebih cepat, terutama menuju wilayah-wilayah terisolir yang sulit dijangkau.

Mereka menyusuri gampong demi gampong, diantaranya
Blang Reuling, Riseh Baroh, Riseh Tunong, hingga Gampong Gunci, di Kecamatan Sawang, Aceh Utara.

Semua daerah itu sebelumnya dikenal asri dan damai. Namun kini, yang terlihat hanyalah rumah-rumah yang terbungkus lumpur, perabotan berserakan, dan beberapa warga yang bertahan di tenda-tenda lusuh sebagian lagi memilih tetap tinggal di dekat rumah mereka meski hampir seluruh isinya tertutup lumpur.

“Sangat miris dan menyayat hati siapa pun yang melihat. Ada rumah yang lumpurnya hampir mencapai atap,” tutur Nurhafni tak tahan menahan kesedihan.

Lebih memilukan lagi, hingga hari itu mereka masih terputus dari jaringan seluler karena ketiadaan listrik. Gampong-gampong itu menjadi ruang sunyi yang gelap, tanpa berita, tanpa hiburan, tanpa kepastian.

“Malam itu, hingga pukul 10 malam kami masih di lapangan,” kata Nurhafni.

Malam itu mereka menyalurkan bantuan kepada staf tendik Fisipol bernama Jamil, yang juga sedang berjuang di pengungsian. Dikeheningan gelap, bantuan itu menjadi cahaya kecil yang menyusup ke dalam duka para penyintas.

Yang mereka bawa bukan sekadar paket sembako. Ada titipan doa, simpati, dan solidaritas dari banyak orang. Donasi itu berasal dari, Alumni IKA MAP FISIP Unimal, Para dosen FISIP dan Donatur dari luar Aceh yang menitipkan infak.

“Kehadiran dan kepedulian kita semua, insya Allah, meringankan duka saudara-saudara kita dan kami juga menyampaikan penghargaan mendalam kepada para alumni dan relawan,” ucap Nurhafni.

Aksi kemanusiaan ini tidak berhenti pada tumpukan logistik. Ia menjadi simbol bahwa ketika negara belum hadir, masyarakatlah yang saling menopang. Bahwa dalam bencana terbesar sekalipun, solidaritas manusia tetap menyala.

“Atas nama jurusan dan prodi Administrasi Publik FISIP Universitas Malikussaleh, kami mengucapkan terima kasih yang sangat tinggi kepada Ketua IKA MAP dan tim sukarelawan MAP yang telah memberikan tenaga dan materi demi terlaksananya kegiatan ini. Semoga Allah SWT memberikan keberkahan dan perlindungan kepada Bapak dan Ibu semua.”

Banjir 2025 telah menyisakan luka besar bagi Aceh . Namun di balik lumpur yang menelan rumah dan gelap yang menutup malam, tumbuh pula kisah-kisah tentang tangan-tangan yang mengangkat sesama.

Kisah tentang alumni, dosen, dan relawan yang tidak ingin hanya menjadi penonton.
Kisah tentang manusia yang memilih untuk tidak berpaling saat bumi tempat mereka berpijak sedang dilanda duka.

Karena pada akhirnya, yang paling memperkuat kita bukanlah besarnya bencana melainkan besarnya hati untuk saling menguatkan.

(Muchlis Gurdhum)

 

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait