Lhokseumawe- Suasana Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Malikussaleh tampak berbeda siang itu. Ratusan mahasiswa berkumpul, bukan untuk membahas politik atau pemerintahan seperti biasanya, melainkan untuk menyingkap realitas yang sering luput dari pembicaraan kampus: bahaya HIV/AIDS dan kanker serviks, Rabu (8/10/2025).
Dalam seminar bertajuk “Jejak Penyakit di Balik Hubungan Pranikah: Kenali Ancaman HIV/AIDS dan Kanker Serviks Sejak Dini”, Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMIPOL) Unimal menggandeng Yayasan Kesehatan Masyarakat Bersama Indonesia (YKMBI) dan Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Kolaborasi lintas lembaga ini menjadi langkah nyata untuk memperkuat kesadaran publik terhadap kesehatan reproduksi di kalangan muda.
Ketua Panitia, Said Fadli Pradana, menuturkan bahwa ide kegiatan ini lahir dari rasa keprihatinan. “Kami melihat kasus HIV terus meningkat, bahkan di kalangan anak muda. Ini bukan lagi isu jauh, tapi sudah menyentuh lingkungan sekitar kita,” ujarnya dengan nada serius.
Bagi Said dan rekan-rekannya di HIMIPOL, isu kesehatan bukan sekadar urusan medis. Ia adalah bagian dari kesadaran sosial dan moral generasi muda. Melalui seminar ini, mereka ingin menghadirkan ruang edukasi yang membangun kesadaran kolektif, bahwa memahami tubuh dan risiko kesehatan adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Menyulam Kesadaran di Kalangan Akademisi
Ketua HIMIPOL, Surya Ananta Basri, menambahkan bahwa kegiatan ini menjadi titik awal gerakan literasi kesehatan di kampus. “Mahasiswa sering kali sibuk mengejar prestasi akademik, tapi lupa bahwa menjaga kesehatan adalah pondasi dari produktivitas. Kami ingin membuka wawasan bahwa HIV/AIDS dan kanker serviks bisa dicegah jika kita tahu sejak dini,” tuturnya.
Semangat mahasiswa ini disambut hangat oleh Dekan FISIP, Teuku Zulkarnaen, S.E., M.M., Ph.D. Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa pendidikan dan kesehatan memiliki irisan yang tak terpisahkan.
“Mahasiswa adalah agen perubahan. Mereka tidak hanya belajar teori politik, tapi juga harus peka terhadap persoalan kemanusiaan, termasuk kesehatan masyarakat,” ujarnya.
sementara itu, kehadiran Syarifah Nurul Carissa, S.Tr.T, anggota Komisi V DPR Aceh, memberikan warna tersendiri. Dengan penuh semangat, ia menyampaikan dukungannya terhadap inisiatif mahasiswa.
“Kami di DPR Aceh melihat kegiatan ini sangat relevan dengan tantangan kesehatan masa kini. Edukasi semacam ini perlu diperluas, karena generasi muda adalah garda terdepan dalam menyebarkan pengetahuan,” ujarnya.
Syarifah juga membuka ruang kolaborasi lanjutan antara DPR Aceh, kampus, dan organisasi mahasiswa. “Jangan biarkan kegiatan ini berhenti di sini. Mari kita jadikan ini sebagai awal dari gerakan bersama dalam memperkuat literasi kesehatan di Aceh,” tambahnya dengan optimistis.
Panggung Edukasi yang Menyentuh Hati
Sesi inti seminar dibawakan oleh Ike Purwantine, A.Md.Keb. dari YKMBI. Dengan gaya penyampaian yang interaktif, ia mengajak peserta memahami realitas di balik penyakit menular seksual. Ia menjelaskan bahwa banyak kasus HIV dan kanker serviks terjadi karena kurangnya informasi dan tabu sosial yang membuat orang enggan berbicara soal kesehatan reproduksi.
“Pencegahan dimulai dari pengetahuan, ketika kita tahu, kita bisa melindungi diri sendiri dan orang lain. Pengetahuan adalah vaksin pertama,” tegasnya.
Tak sekadar mendengarkan, para peserta aktif berdiskusi, bertanya, bahkan berbagi pengalaman pribadi. Dari wajah-wajah mereka terpancar rasa ingin tahu yang besar — seolah seminar ini membuka mata mereka terhadap hal-hal yang selama ini dianggap tabu.
“Jujur, awalnya saya ikut karena penasaran,” ujar salah satu mahasiswa peserta. “Tapi ternyata materinya membuka pikiran saya bahwa menjaga kesehatan reproduksi bukan hanya urusan perempuan, tapi tanggung jawab semua orang.”
Langkah Kecil, Dampak Besar
Sementara itu, Ketua Prodi Ilmu Politik, Teuku Muzaffarsyah, S.IP., M.AP., menilai bahwa kegiatan ini memiliki nilai strategis bagi pengembangan karakter mahasiswa.
“Ini bukan hanya soal kesehatan, tapi juga tentang kesadaran sosial dan empati. Dari ruang akademik inilah lahir gerakan perubahan yang sesungguhnya,” ungkap pria yang akrab disapa Pak Pon tersebut.
Dengan dukungan dari kampus, DPR Aceh, dan lembaga sosial seperti YKMBI, HIMIPOL Unimal berhasil menunjukkan bahwa mahasiswa mampu memainkan peran lebih luas sebagai jembatan antara dunia akademik dan realitas sosial.
Menjelang akhir acara, suasana hangat terasa dalam sesi tanya jawab. Tak ada jarak antara pembicara dan peserta. Semua larut dalam percakapan yang jujur tentang kesehatan, moral, dan masa depan generasi muda.
Seminar itu berakhir, namun pesan yang tertinggal jelas: kesadaran adalah langkah pertama menuju perlindungan diri. Di balik diskusi yang penuh semangat itu, lahirlah secercah harapan bahwa generasi muda Aceh akan tumbuh lebih sadar, lebih sehat, dan lebih peduli.(muchlis)