Mengurai Sejarah: Dua Rektor Uji Teuku Kemal Fasya dalam Sidang Terbuka Doktoral USU

oppo_1026

Oleh : Muchlis Gurdhum

Medan – Di aula megah Rektorat Universitas Sumatera Utara (USU), Rabu (22/10/2025), suasana akademik terasa begitu khidmat ketika seorang intelektual dari Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya, menapaki salah satu puncak tertinggi perjalanan ilmiahnya. Di hadapan dua rektor sekaligus Prof. Dr. Muryanto Amin (Rektor USU) dan Prof. Dr. Ir. Herman Fithra, ASEAN Eng (Rektor Universitas Malikussaleh), Teuku Kemal mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka Program Doktor Perencanaan Wilayah di Sekolah Pascasarjana USU.

Kehadiran dua rektor dalam satu forum pengujian terbuka menjadi momen langka dan simbol sinergi akademik lintas universitas. Keduanya tidak hanya hadir sebagai undangan kehormatan, tetapi juga sebagai penguji eksternal yang menyoroti kedalaman analisis dan ketajaman argumentasi disertasi yang dipresentasikan.

Merekonstruksi Narasi Sejarah yang Terkaburkan

Dalam sidang yang dipimpin oleh Prof. Dr. Robert Sibarani selaku ketua, Teuku Kemal Fasya memaparkan disertasinya yang berjudul “Dampak Tragedi Cumbok dalam Konteks Pembangunan Rekonsiliasi Aceh.”

Dengan tenang dan sistematis, ia menguraikan bagaimana tragedi yang terjadi di awal kemerdekaan Indonesia itu bukan hanya menyisakan luka sejarah, tetapi juga meninggalkan jejak mendalam dalam dinamika sosial-politik Aceh hingga kini.

Melalui pendekatan antropologi politik, etnografi sejarah, dan teori perencanaan wilayah, Kemal berupaya membongkar keterputusan narasi yang selama ini mendominasi historiografi konflik Aceh. Ia mengungkap bahwa politik memori dan penyesatan sejarah telah menciptakan ketimpangan pemahaman publik terhadap peristiwa Cumbok, konflik tragis antara kelompok uleebalang dan rakyat yang menjadi bagian dari pergulatan identitas Aceh modern

“Perencanaan wilayah bukan hanya berbicara soal tata ruang dan infrastruktur,” tegas Kemal dalam pemaparannya, “melainkan juga menjadi instrumen untuk memahami dimensi sosial dan kemanusiaan yang membentuk ruang hidup masyarakat.”

Pendekatan Dekonstruktif untuk Rekonsiliasi

Penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun itu membawa Kemal pada temuan penting: bahwa rekonsiliasi tidak akan pernah tuntas jika narasi sejarah masih timpang dan berpihak. Ia menegaskan perlunya analisis dekonstruktif terhadap teks-teks sejarah guna menyingkap ketidaksadaran kolektif yang selama ini menutupi realitas sosial Aceh.

“Penegakan hak asasi manusia atas peristiwa masa lalu merupakan bagian dari pemenuhan hak kewarganegaraan,” ujarnya.

Dalam simpulan disertasinya, Kemal menawarkan empat rekomendasi utama bagi pembangunan rekonsiliasi Aceh, di antaranya:

1. Desain model rekonsiliasi non-yudisial bagi kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;

2. Penyusunan historiografi nasional yang inklusif, memasukkan perspektif korban sebagai bagian integral sejarah;

3. Penguatan kebijakan perencanaan wilayah berbasis politik lokal dan regulasi kontekstual;

4. Integrasi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam proses pembangunan pascakonflik.

“Tragedi Cumbok bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi tragedi kemanusiaan yang masih menorehkan luka sosial hingga kini. Karena itu, narasinya perlu direkonstruksi dengan kejujuran akademik demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan, kata Kemal.

Momen Akademik dan Refleksi Intelektual

Sidang terbuka tersebut juga dihadiri oleh Prof. T. Sabrina, Ph.D. (Direktur Sekolah Pascasarjana USU), Prof. Dr. Budi Agustono (Ketua Senat Akademik USU), Prof. Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. (Kaprodi S3 Perencanaan Wilayah USU), serta Prof. Dr. Badaruddin, M.Si. (Ketua Prodi S2 Sosiologi USU).

Selain dua rektor, jajaran penguji lainnya terdiri atas Prof. Dr. Satia Negara Lubis, M.Ec. dan Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., sementara Prof. Dr. Robert Sibarani, MS. dan Prof. Dr. Drs. Budi Agustono, MS. bertindak sebagai promotor dan ko-promotor.

Dengan selesainya ujian terbuka ini, Teuku Kemal Fasya bukan hanya menuntaskan fase akademik tertingginya, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi wacana rekonsiliasi sejarah dan pembangunan sosial di Aceh. Penelitiannya menjadi bukti bahwa ilmu pengetahuan dapat berperan sebagai jembatan antara ingatan masa lalu dan cita-cita masa depan, antara trauma sejarah dan perdamaian berkelanjutan.(*)

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait