Zonamedia. Co|Lhokseumawe-Dosen Hubungan Internasional Fisip Universitas Malikussaleh
Sejarah mencatat, pemimpin besar diuji bukan pada saat pesta kemenangan, melainkan pada saat menghadapi badai protes. Soeharto tumbang bukan karena kalah pemilu, tetapi karena gelombang demonstrasi mahasiswa yang tak terbendung. Jokowi diuji berkali-kali oleh demo besar, dari aksi 212 hingga protes omnibus law. Kini giliran Prabowo menghadapi momen serupa.
_Pertanyaannya: apakah beliau akan merespons dengan kebijaksanaan atau dengan ketakutan?_
*Opsi Presiden: Represif atau Dialogis?*
Di titik ini, Presiden Prabowo menghadapi pilihan mendasar:
1. Pendekatan represif – menggunakan aparat keamanan untuk meredam demonstrasi, menutup ruang protes, dan menjaga stabilitas dengan tangan besi. Ini jalan cepat, tetapi berisiko memperlebar jarak dengan rakyat dan menimbulkan stigma “otoritarianisme baru.”
2. Pendekatan dialogis – membuka ruang komunikasi, mendorong DPR agar lebih responsif, serta memastikan tuntutan demonstran mendapat kanal institusional. Jalan ini lebih melelahkan secara politik, tetapi bisa memperkuat legitimasi dan membangun kepercayaan.
Ujian besar pertama bagi Presiden Prabowo adalah apakah beliau berani memilih opsi kedua, meski lebih sulit, atau tergoda menggunakan cara pertama yang lebih instan.
*Menyemai Dialog, Merawat Legitimasi*
Jika Prabowo ingin memastikan pemerintahannya tidak mudah diguncang, beliau perlu menanamkan tradisi baru: menyemai dialog sejak awal, merawat legitimasi lewat keterbukaan. Caranya bukan hanya dengan menemui demonstran, tetapi juga dengan mendorong DPR agar lebih proaktif mendengar suara rakyat.
Di era keterhubungan digital, aksi demo bisa dengan cepat meluas dari satu kota ke kota lain. Jika aspirasi tidak dikelola, potensi eskalasi nasional sangat besar. Sebaliknya, jika Presiden tampil sebagai figur yang mau mendengar, maka demo bisa menjadi ajang konsolidasi energi rakyat, bukan ancaman bagi stabilitas.
Mungkin bagi sebagian elit, demo adalah gangguan, ancaman stabilitas, bahkan potensi chaos. Namun, bagi demokrasi, politik jalanan justru bisa menjadi vitamin: tanda bahwa ruang kritik masih hidup, bahwa rakyat masih peduli.
Prabowo harus mampu menggeser paradigma lama: bukan melihat demonstrasi sebagai musuh negara, tetapi sebagai pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan. Demokrasi hidup ketika rakyat bisa bersuara keras di jalan, tanpa rasa takut.
Demikian.
31 Agustus 2025,
Kampus Bukit indah, Lhokseumawe, Aceh
*Salam Merah Putih,*
*Zulfadli Ilmard*