Pisang Cavendish, yang selama ini lebih dikenal sebagai buah segar konsumsi sehari-hari, ternyata menyimpan potensi besar untuk diolah menjadi produk bernilai tambah.
Melalui Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW) 2025 yang didanai oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) melalui Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), dibawah bimbingan Dr.Mursyidin, tiga mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) menangkap peluang dari potensi tersebut hingga melahirkan Biskavish, biskuit sehat berbahan dasar tepung pisang Cavendish.
Gagasan tersebut berawal dari keprihatinan sederhana, ternyata masih banyak pisang Cavendish grade dua yang tidak terserap oleh pasar. Sri Wahyu Ningsih, ketua tim inovasi, bersama dua rekannya yakni Ratih Mulyana Lumbantobing dan Muhammad Tamir, melihat hal ini sebagai peluang untuk mengubah keterbatasan itu menjadi keunggulan.
“Daripada terbuang, mengapa tidak diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat?” ungkap Sri, mahasiswa akhir Program Studi Sosiologi Unimal itu.
Dari dapur eksperimen sederhana, pisang kemudian diolah menjadi tepung dan diracik menjadi biskuit dengan tekstur renyah serta cita rasa manis-gurih. Produk tersebut dikemas modern dalam standing pouch, sehingga tidak hanya menghadirkan rasa, tetapi juga menampilkan estetika visual yang sesuai dengan tren konsumen masa kini.
Lebih dari sekadar camilan, Biskavish memiliki dimensi sosial. Proses produksinya menggandeng pelaku UMKM lokal di Kabupaten Bener Meriah, membuka ruang bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, setiap keping biskuit yang terjual menjadi simbol kolaborasi antara kreativitas mahasiswa dan keberlanjutan ekonomi lokal.
Uji pasar awal menunjukkan respons yang positif. Lebih dari 20 konsumen menyatakan kepuasan terhadap cita rasa dan keunikan produk ini. “Rasanya enak, gurih, dan berbeda dari biskuit pada umumnya,” demikian testimoni yang paling sering diterima oleh tim. Penerimaan ini menjadi indikator awal bahwa inovasi tersebut memiliki prospek komersial yang menjanjikan.
Ke depan, tim Biskavish telah menyiapkan peta jalan pengembangan produk. Proses sertifikasi pangan tengah diupayakan, distribusi diperluas, serta rancangan strategi untuk menembus pasar nasional bahkan internasional telah mulai disusun. Bagi Sri dan rekan-rekannya, langkah ini bukan sekadar ambisi, melainkan cerminan semangat kewirausahaan yang tumbuh dari ruang akademik.
“Kalau ada kemauan dan dukungan, produk lokal bisa menjadi sesuatu yang mendunia,” tegas Sri dengan penuh optimisme.
Kisah lahirnya Biskavish menjadi bukti bahwa inovasi tidak selalu dimulai dari laboratorium besar atau modal berlimpah. Terkadang, sebuah ide sederhana yang berangkat dari kepekaan terhadap masalah di sekitar dapat berkembang menjadi karya yang berdaya guna, memberi nilai tambah, sekaligus berkontribusi pada pembangunan masyarakat. (muchlis)