Hakikat Kurban: Menggugah Makna Pengorbanan dalam Dimensi Spiritual dan Sosial

Oleh: Muhammad Munir An-Nabawi, M.Psi., Dosen Bimbingan dan Konseling Islam IAIN Lhokseumawe


Kurban adalah salah satu ajaran Islam yang paling simbolik, namun sering kali dipahami secara dangkal. Setiap tahun, jutaan hewan disembelih pada Hari Raya Iduladha, dan masyarakat Muslim merayakan momen tersebut sebagai bentuk ibadah yang telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Prosesi penyembelihan ini menjadi perayaan besar yang diwarnai dengan semangat berbagi dan kebersamaan.

Akan tetapi, di balik praktik tersebut, terdapat hakikat kurban yang jauh lebih dalam daripada sekadar ritual tahunan. Kurban adalah refleksi spiritual, pengorbanan jiwa, latihan ketulusan, dan panggilan untuk empati sosial. Ia menuntut perenungan mendalam tentang makna ketaatan dan keikhlasan. Sayangnya, banyak dari kita yang hanya berhenti pada level seremonial, tanpa menggali esensi dan ruh dari ibadah ini.

Meneladani Nabi Ibrahim: Simbol Ketundukan Total

Hakikat kurban yang paling mendasar dapat ditelusuri dari kisah Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Perintah ini jelas merupakan ujian keimanan dan kepatuhan yang luar biasa berat. Namun, dengan penuh keikhlasan dan keyakinan terhadap perintah Tuhannya, Ibrahim melaksanakannya tanpa ragu. Ismail pun menerima perintah tersebut dengan keteguhan hati yang sama. Pada saat yang menentukan, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba sebagai bentuk rahmat dan penerimaan pengorbanan mereka.

Kisah ini bukan sekadar cerita heroik tentang kepatuhan nabi. Ia mengandung pesan mendalam bahwa hakikat kurban bukan pada darah atau daging yang tertumpah, tetapi pada ketulusan niat, kesungguhan iman, dan kesiapan untuk mengorbankan apa yang paling dicintai demi keridaan Allah. Itulah inti dari surah Al-Hajj ayat 37 yang mengatakan: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa ritual kurban hanyalah media; substansinya adalah ketakwaan.

Kurban sebagai Penghapus Ego dan Nafsu Duniawi

Dalam kehidupan modern yang cenderung materialistik dan individualistis, makna pengorbanan sering kali terpinggirkan. Kita lebih mudah memberi dari kelebihan, bukan dari apa yang paling kita cintai. Nilai-nilai seperti keikhlasan dan pengorbanan mulai tergerus oleh budaya instan dan kepentingan diri sendiri. Di sinilah kurban hadir sebagai ajaran yang mengajak kita untuk merefleksikan kembali arti memberi dan berkorban secara tulus.

Kurban mengajarkan untuk melawan kecenderungan egoistik tersebut. Menyisihkan sebagian harta untuk membeli hewan kurban, lalu membagikan dagingnya kepada orang lain, termasuk mereka yang bahkan tidak kita kenal, ini adalah latihan nyata dalam melepaskan diri dari rasa memiliki yang berlebihan. Ini bukan hanya tentang berbagi materi, tetapi juga tentang membuka hati, mengikis keakuan, dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.

Lebih dalam lagi, kurban pada hakikatnya adalah simbol pengendalian nafsu. Menyembelih hewan menjadi bentuk lahiriah dari upaya menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia, seperti keserakahan, keangkuhan, ketamakan, dan kezaliman. Orang yang benar-benar memahami makna kurban akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih rendah hati, empatik, dan tidak mudah terjerat oleh gemerlap dunia. Ia tidak hanya menyembelih hewan, tapi juga menyucikan jiwa.

 Menghidupkan Solidaritas Sosial

Dimensi sosial dari kurban sering kali menjadi wajah yang paling terlihat dari ibadah ini. Daging kurban dibagikan kepada masyarakat, terutama mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah merasakan nikmatnya menyantap daging. Kurban menjadi momen di mana umat Islam berbagi kebahagiaan dan rezeki dengan sesama.

Namun, sering kali pembagian ini dilakukan tanpa kesadaran mendalam tentang pesan sosial yang terkandung di dalamnya. Kurban seharusnya menjadi perwujudan solidaritas sosial yang aktif dan berkesinambungan, bukan sekadar formalitas tahunan. Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan memastikan bahwa orang-orang di sekitar kita juga merasakan keadilan dan keberkahan hidup.

Kurban, bila dipahami secara benar, akan memantik kesadaran bahwa kita hidup dalam jaringan sosial yang saling terkait, dan bahwa keberadaan kita seharusnya memberi manfaat bagi orang lain. Dalam konteks ini, kurban adalah momentum untuk merenungkan peran kita dalam mengurangi kesenjangan dan memperkuat ukhuwah islamiyah.

Menghidupkan Ruh Kurban Sepanjang Tahun

Sayangnya, banyak dari kita yang hanya “berkurban” pada saat Iduladha. Setelah itu, semangat pengorbanan dan empati sosial seakan menguap begitu saja. Padahal, jika benar-benar memahami hakikat kurban, kita akan menjadikannya sebagai etika hidup yang terus menginspirasi sepanjang tahun. Pengorbanan bukan hanya dalam bentuk harta, tetapi juga waktu, tenaga, pikiran, bahkan perasaan.

Mengorbankan kenyamanan diri demi membantu sesama, melepaskan ego dalam konflik, atau menahan diri dari mengambil hak orang lain adalah wujud kurban yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi Muslim yang taat secara ritual, tetapi juga manusia yang utuh secara moral dan spiritual.

Kurban dalam Konteks Zaman Modern

Kita hidup di zaman yang penuh tantangan baru. Krisis lingkungan, ketimpangan ekonomi, konflik sosial, dan degradasi moral semakin mengemuka. Dalam situasi ini, hakikat kurban menjadi sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa pengorbanan adalah jalan menuju perubahan, bahwa setiap kemajuan dan perbaikan memerlukan harga yang harus dibayar.

Di tengah konsumerisme dan hedonisme, kurban hadir sebagai ajaran yang membebaskan. Ia melatih kita untuk tidak diperbudak oleh keinginan, untuk bersikap adil terhadap sesama makhluk, dan untuk hidup dengan kesadaran akan keterbatasan dan ketergantungan kita kepada Sang Pencipta.

Bahkan dari sudut pandang ekologis, kurban yang dilakukan dengan penuh kesadaran bisa menjadi momen edukasi tentang keberlanjutan, etika konsumsi, dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup lain. Tidak ada ruang untuk pemborosan, pamer kekayaan, atau eksploitasi hewan secara semena-mena dalam ibadah ini. Semuanya harus dilakukan dengan niat yang tulus dan cara yang bijak. 

Kembali ke Esensi, Bukan Seremonial

Hakikat kurban bukanlah sekadar menyembelih hewan dan membagikan daging. Ia adalah ibadah yang sarat makna, yang menuntut keikhlasan, keberanian, dan kepedulian. Ia adalah ajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya: yang tunduk kepada Tuhan, yang peduli kepada sesama, dan yang siap mengorbankan kesenangan pribadi demi kemaslahatan umum.

Sudah saatnya kita menggeser fokus dari ritual ke esensial, dari seremonial ke spiritual, dari simbolik ke praksis. Kurban bukan hanya milik mereka yang mampu membeli hewan ternak, tapi milik setiap insan yang mampu mengorbankan egonya demi Allah dan sesama. Dengan memahami dan menghidupkan hakikat kurban, kita bukan hanya memperingati kisah Nabi Ibrahim, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sejati dalam diri kita, keluarga, dan masyarakat.

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait