KOMUNIKASI DAMAI SEBAGAI PARADIGMA BARU

Oleh: Kamaruddin Hasan

(Membangun Peradaban Inklusif-Dialogis tingkat Lokal, Nasional dan Global)

 

Dunia kontemporer menghadapi paradoks besar; kemajuan teknologi komunikasi yang luar biasa justru sering beriringan dengan meningkatnya ketegangan sosial, politik, dan budaya. Di tengah derasnya arus informasi digital, ujaran kebencian, disinformasi, misinformasi, malinformasi dan polarisasi identitas tumbuh subur di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena ini menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak otomatis menghadirkan kemajuan peradaban komunikasi.

Dalam konteks inilah, komunikasi damai peace communication hadir dan menjadi relevan dan mendesak untuk dikedepankan sebagai paradigma baru dalam ilmu komunikasi dan praktik sosial-politik. Paradigma ini menekankan nilai-nilai dialogis, empati, inklusivitas, dan keadilan sosial dalam setiap proses pertukaran makna. Komunikasi damai bukan sekadar strategi retoris, melainkan sebuah pendekatan epistemologis dan etis untuk mengembalikan makna komunikasi sebagai sarana membangun hubungan kemanusiaan yang berkeadaban.

Dalam dimensi lokal, Aceh menjadi inspirasi komunikasi damai, sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang konflik dan perdamaian, memberikan landasan kontekstual yang kuat untuk pengembangan paradigma ini. Transformasi sosial-politik pascakonflik di Aceh telah memperlihatkan bagaimana komunikasi yang berbasis kearifan lokal, nilai-nilai Islam, dan budaya musyawarah dapat berperan penting dalam menciptakan rekonsiliasi dan harmoni sosial. Pengalaman lokal ini memiliki potensi universal yang dapat diproyeksikan ke tingkat nasional dan global.

Aceh merupakan laboratorium sosial yang kaya untuk mengembangkan komunikasi damai. Sejarah panjang konflik bersenjata selama tiga dekade di provinsi ini meninggalkan luka sosial yang mendalam, namun juga melahirkan kesadaran kolektif akan pentingnya perdamaian yang berkelanjutan.

Pasca penandatanganan Perjanjian Helsinki (2005), proses rekonsiliasi di Aceh banyak diwarnai oleh komunikasi antar-aktor yang mengedepankan nilai-nilai Islam dan adat lokal seperti peumulia jamee (memuliakan tamu), musyawarah mukim, dan peusijuek (ritual perdamaian). Nilai-nilai tersebut merupakan bentuk nyata komunikasi damai yang mengedepankan penghormatan, pengakuan, dan dialog terbuka.

Dalam konteks akademik, pendekatan lokal ini dapat disebut sebagai komunikasi damai integrasi kearifan lokal berbasis nilai Agama sebagai sebuah model komunikasi yang berakar pada nilai-nilai budaya, tetapi mampu berdialog dengan teori-teori modern. Mampu menegaskan bahwa perdamaian bukan produk dari intervensi eksternal semata, melainkan hasil dari rekonstruksi makna sosial yang lahir dari masyarakat itu sendiri.

Praktik komunikasi damai di Aceh memperlihatkan sinergi antara aktor lokal (ulama, tokoh adat, pemuda, media lokal, dan lainnya) dengan lembaga nasional maupun internasional. Model ini dapat dijadikan best practice dalam pendidikan politik damai di wilayah lain di Indonesia, bahkan di dunia.

Dimensi nasional, komunikasi damai menjadi landasan demokrasi inklusif Indonesia, komunikasi damai memiliki relevansi strategis dalam memperkuat demokrasi inklusif dan memperbaiki kualitas ruang publik. Politik Indonesia kontemporer masih sering diwarnai oleh polarisasi identitas, ujaran kebencian, serta penggunaan media sosial untuk mobilisasi konflik simbolik. Hal ini menunjukkan adanya krisis etika dalam komunikasi politik.

Paradigma komunikasi damai menantang pola komunikasi politik yang konfrontatif. Menawarkan pendekatan dialogis dan reflektif di mana perbedaan pandangan tidak harus berujung pada permusuhan, tetapi menjadi peluang untuk membangun mutual understanding. Dalam konteks ini, peran media massa dan media digital sangat penting sebagai ruang publik digital yang sehat dan berkeadaban.

Misalnya, wacana pemilu yang penuh dengan narasi us versus them dapat digantikan oleh diskursus berbasis program, gagasan, dan empati sosial. Komunikasi politik yang damai berarti menghormati keragaman opini dan menjadikan komunikasi sebagai sarana pendidikan politik, bukan sekadar alat mobilisasi massa.

Selain itu, komunikasi damai juga relevan bagi dunia pendidikan dan lembaga keagamaan. Kurikulum komunikasi dan pendidikan karakter dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai damai untuk membentuk generasi yang literatif, empatik, dan kritis terhadap ujaran kebencian. Dengan demikian, komunikasi damai menjadi pondasi sosial untuk mempertahankan integrasi bangsa di tengah pluralitas.

Pada dimensi global komunikasi damai sebagai tanggung jawab peradaban bangsa bangsa dunia, komunikasi damai membuka ruang bagi lahirnya etika komunikasi lintas budaya secara global. Dunia yang semakin terkoneksi membutuhkan paradigma komunikasi yang mampu menjembatani perbedaan nilai, agama, dan ideologi tanpa jatuh ke dalam dominasi atau homogenisasi budaya.

Komunikasi damai berorientasi pada dialog peradaban (dialogue of civilizations), bukan benturan peradaban (clash of civilizations). Dalam kerangka ini, bangsa-bangsa dunia diajak untuk membangun komunikasi yang mengedepankan penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan global.

Lembaga internasional seperti UNESCO sejak lama menekankan pentingnya Culture of Peace budaya damai yang melibatkan media, pendidikan, dan komunikasi. Paradigma komunikasi damai dapat menjadi fondasi konseptual dari agenda tersebut dengan menekankan tanggung jawab etis setiap aktor komunikasi: individu, media, pemerintah, dan korporasi global.

Dalam praktik diplomasi modern, komunikasi damai juga berarti penggunaan soft power berbasis nilai-nilai kemanusiaan, budaya, dan solidaritas global. Indonesia dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika dan pengalaman Aceh sebagai wilayah perdamaian dapat berperan aktif menjadi model komunikasi damai dunia bukan hanya sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga sebagai laboratorium dialog global.

Paradigma komunikasi damai menuntut perubahan mendasar dalam cara berpikir ilmuwan dan praktisi komunikasi. Selama ini, banyak studi komunikasi berorientasi pada efektivitas persuasi, pengaruh media, dan strategi dominasi wacana. Sementara komunikasi damai menempatkan relasi antar-manusia sebagai pusat epistemologi. Artinya, komunikasi bukan lagi sekadar alat untuk mencapai tujuan tertentu (politik, ekonomi, ideologi), tetapi tujuan itu sendiri yaitu terbangunnya relasi kemanusiaan yang penuh makna dan saling menghargai.

Dalam paradigma ini, komunikasi dipahami sebagai praktik rekonstruktif dan reflektif, bukan destruktif. Menciptakan ruang bagi perbedaan, membuka kemungkinan bagi rekonsiliasi dan melahirkan solidaritas sosial. Tentu pendekatan ini juga bersifat interdisipliner. Komunikasi damai bukan sekadar pendekatan teknis, tetapi gerakan intelektual untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam ruang publik yang sering kali terdistorsi oleh logika ekonomi dan politik.

Komunikasi damai dapat dimaknai sebagai proses penyampaian pesan yang berorientasi pada penyelesaian konflik, pembentukan saling pengertian, serta penguatan solidaritas sosial. Berakar pada teori-teori komunikasi humanistic, komunikasi dialogis, komunikasi transendental yang menempatkan manusia sebagai subjek yang berkesadaran etis.

Komunikasi damai lebih dari sekadar teori normative, menjadi paradigma baru sebagai suatu cara pandang yang menyeluruh terhadap realitas sosial dan peran komunikasi di dalamnya. Sebagai paradigma, komunikasi damai mengubah fokus dari komunikasi persuasif yang berorientasi kekuasaan menuju komunikasi transformatif yang berorientasi nilai dan keberlanjutan.

Paradigma ini menolak kekerasan simbolik yang sering tersembunyi dalam wacana politik, media, dan ekonomi global. Komunikasi damai menegaskan bahwa komunikasi sejati bukan sekadar tentang siapa yang menang dalam argumentasi, tetapi bagaimana setiap pihak dapat saling memahami dan menemukan ruang bersama untuk bekerja demi kebaikan kolektif.

Dunia kontemporer era digital, paradigma komunikasi damai juga mengajak kita untuk meninjau ulang bagaimana algoritma media baru, media sosial membentuk persepsi, memperkuat bias dan memecah ruang public digital. Karena itu, pendekatan damai menuntut lahirnya ekologi komunikasi baru yang etis, literatif, dan berorientasi pada kemanusiaan.

Tentu, untuk menginstitusionalisasikan paradigma komunikasi damai ini, diperlukan upaya sistematis berbagai elemen; dunia Pendidikan tinggi komunikasi perlu memasukkan mata kuliah Komunikasi Damai yang berbasis praktik lokal, nasional dan studi kasus global. Media massa dan digital perlu terus mempraktekan jurnalisme damai, mengadopsi kode etik komunikasi damai yang menolak sensasionalisme dan ujaran kebencian. Pemerintah dan masyarakat sipil perlu mengembangkan forum dialog damai di setiap level pemerintahan untuk merespons isu sosial secara kolaboratif. Lembaga internasional dan komunitas global perlu menjadikan komunikasi damai sebagai agenda diplomasi kebudayaan dan kemanusiaan lintas bangsa. Dengan langkah-langkah tersebut, komunikasi damai dapat menjadi gerakan sosial baru yang memperkuat daya tahan bangsa di era disrupsi.

Komunikasi damai bukanlah utopia. Menjadi keniscayaan etis dan intelektual yang harus diwujudkan untuk menghadapi krisis kemanusiaan global. Paradigma ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati komunikasi bukan terletak pada kemampuan memengaruhi, melainkan pada keberanian mendengarkan dan memahami.

Dalam konteks Aceh, komunikasi damai telah terbukti menjadi fondasi rekonsiliasi sosial yang mengembalikan kepercayaan publik pascakonflik. Dalam konteks nasional, mampu menjadi jalan untuk menumbuhkan kedewasaan demokrasi yang beretika. Dalam konteks global, mampu menjadi kontribusi bagi peradaban dunia yang lebih manusiawi.

Sebagai paradigma baru, komunikasi damai menegaskan bahwa masa depan dunia tidak dapat diselamatkan oleh kekuasaan dan teknologi semata, tetapi oleh kemampuan manusia untuk berbicara, mendengar, dan hidup bersama dalam kedamaian. Semoga

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait