RESILIENCE ANAK MUDA DARI UPAYA REKRUTMEN TERORISME

“Integrasi  Komunikasi Damai Ranah Digitalisasi”

Oleh : Kamaruddin Hasan*

Ketika ruang digital menjadi medan baru perebutan pikiran anak muda, kita dapat menyaksikan bagaimana dunia digital yang awalnya menjadi ruang bermain, belajar, dan berekspresi, kini berubah menjadi ladang baru bagi kelompok terorisme untuk menyusup dan fenomena merekrut generasi muda melalui game. Fenomena ini bukan lagi isu abstrak, ini kenyataan yang terjadi di depan mata. Data terbaru menunjukkan bahwa kelompok paham ekstrem, kekerasan, teroris telah memanfaatkan game online, komunitas digital, dan media sosial untuk menanamkan bibit radikalisme secara halus dan sistematis.

Anak muda hidup dalam dunia yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya, tumbuh di tengah arus informasi tak terbendung, ruang interaksi tanpa batas, serta budaya daring yang terus berkembang. Ruang digital bukan lagi sekadar tempat mencari hiburan atau berbagi cerita, telah berubah menjadi arena pertarungan gagasan, identitas, bahkan ideologi. Ruang digital inilah, pikiran anak muda diperebutkan oleh beragam actor, dari komunitas kreatif, selebritas digital, hingga kelompok yang menyebarkan paham ekstrem, kekerasan bahkan teroris.

Anak muda yang masih dalam proses pencarian jati diri dan mencari makna hidup, berada pada posisi paling mudah dipengaruhi. Satu sisi, mereka memiliki daya kritis yang tinggi dan kemampuan adaptasi luar biasa. Namun di sisi lain, juga rentan dibentuk oleh pesan-pesan manipulatif yang diselipkan dalam konten digital.

Ruang digital kini memainkan peran seperti pasar bebas pikiran, setiap orang dapat menawarkan gagasan, membentuk opini, dan mempengaruhi perilaku. Namun, tidak semua gagasan lahir dari niat baik. Kelompok ekstremis, misalnya, menjadikan ruang ini sebagai alat strategis untuk menyusupkan ideologi kekerasan dalam bentuk yang halus dan menarik, dengan memanfaatkan algoritma, psikologi media sosial, bahkan game online sebagai pintu masuk untuk mendekati anak muda.

Fenomena rekrutmen terorisme melalui game daring yang diungkap Densus 88 dan BNPT hanya salah satu contoh bagaimana ruang digital dimanfaatkan secara canggih oleh kelompok radikal. Perekrut tidak datang dengan ajakan ideologi secara langsung. Namun hadir sebagai teman bermain, pendengar yang baik, atau figur yang memberi perhatian kepada anak yang sedang kesepian. Melalui pendekatan emosional, merebut kepercayaan, lalu perlahan mengubah cara berpikir target. Dalam konteks ini, radikalisasi bukan lagi soal doktrin kaku, tetapi proses membangun ikatan psikologis yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan ideologi.

Masalah menjadi semakin kompleks karena ruang digital bekerja dengan logika kecepatan dan sensasi. Pesan-pesan yang emosional, mengandung konflik, atau menggugah rasa ingin tahu lebih mudah viral dibandingkan pesan damai yang bersifat reflektif. Algoritma platform besar pun secara tidak langsung memperkuat konten yang memicu emosi kuat. Hal Ini menyebabkan anak muda kerap terpapar konten ekstrem, tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang diarahkan ke dalam lorong pemikiran yang lebih sempit dan radikal.

Data terbaru menunjukkan pola berbahaya, lebih dari 110 anak pada tahun 2025 telah teridentifikasi sebagai korban radikalisasi digital melalui game online dan media sosial naik drastis dari hanya 17 anak pada periode 2011–2017. Dalam satu tahun saja, Komdigi menangani 8.320 konten radikalisme dan terorisme, terutama di platform Meta, Google, TikTok, X, hingga Telegram. Semua ini menegaskan bahwa  ruang digital kini menjadi medan konflik komunikasi yang membutuhkan perhatian serius.

Di tengah lingkungan digital yang semakin terbuka, pola interaksi anak muda semakin rentan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem. Anak-anak yang mengalami kesepian, korban bullying, atau berasal dari keluarga yang tidak harmonis menjadi target mudah karena mereka mencari pengakuan, teman, dan rasa diterima. Game online yang seharusnya menjadi hiburan justru dipakai sebagai ruang penyusupan. Perekrut memulai dengan pendekatan kecil; bermain bersama, mengobrol ringan, membangun kedekatan. Setelah kepercayaan tumbuh, memindahkan komunikasi ke ruang privat seperti WhatsApp, Telegram dan lainnya. Dalam ruang digital itulah doktrin perlahan disuntikkan dalam bentuk meme, video pendek, animasi, bahkan konten deepfake yang menggambarkan pahlawan teroris.

Pola yang muncul sangat konsisten; penyusupan di Game Online, perekrut menyamar sebagai pemain biasa, lalu menargetkan anak-anak yang tampak kesepian atau sering bermain tanpa teman. Mengajak ngobrol, memberikan hadiah dalam game, hingga menjadi kakak pembimbing yang membuat anak merasa dihargai. Membangun emosi dan ketergantungan; rekrutmen bukan dimulai dari ideologi, tetapi dari hubungan emosional. Ketika anak merasa diterima, menjadi lebih mudah menerima ide-ide yang disisipkan. Metode membentuk radikalisasi yang halus terlihat seperti pertemanan, padahal penuh agenda.

Termasuk pola memetic radicalization sebagai fenomena memetic violence: anak muda meniru kekerasan atau simbol teroris yang dilihat di dunia digital demi merasa kuat atau dianggap keren. Pola radikalisasi baru bukan melalui doktrin berat, tetapi melalui meme, humor gelap, dan konten viral. Target anak muda, remaja rentan; ciri yang paling rentan sering sama seperti korban bullying, broken home, minim perhatian keluarga, literasi digital rendah dan mencari identitas diri.

Ruang digital mesti diisi oleh narasi damai yang mampu menumbuhkan empati, konektivitas positif, dan rasa diterima. Jika tidak, kekosongan psikologis anak muda akan diisi oleh pihak-pihak yang ingin menanamkan ideologi kekerasan. Dalam situasi dan kondisi ini, interasi komunikasi damai dalam ranah digitalisasi menjadi kebutuhan sangat mendesak. Komunikasi damai bukan hanya teori, tetapi cara membangun ruang digital yang aman yang mampu menjadi perisai bagi anak muda dari manipulasi ideologi kekerasan. Integrasi mesti dilakukan secara sistematis agar digitalisasi tidak berubah menjadi jalan masuk radikalisme, tetapi menjadi jembatan menuju masyarakat yang lebih harmonis.

Nilai-nilai dalam komunikasi damai seperti Nilai-nilai empati, dialog, dan penghargaan terhadap perbedaan harus diintegrasikan ke dalam budaya digital anak muda. Komunikasi damai bukan hanya mengajak untuk tidak berkonflik, tetapi juga membekali anak muda dengan kemampuan membaca motif pesan, memahami manipulasi digital, serta mengenali pola-pola komunikasi berbahaya yang sering digunakan dalam rekrutmen radikalisme.

Integrasi komunikasi damai mampu menguatkan ekosistem ruang digital anak muda, untuk mencegah radikalisasi digital. Kita membutuhkan pendekatan baru yang lebih progresif dan inovatif. Pendekatan Integrasi komunikasi damai dalam ranah digitalisasi bukan hanya reaktif, tetapi proaktif mengisi ruang digital dengan energi positif sebelum pihak radikal melakukannya.

Mampu menumbuhkan komunikasi empati digital; anak muda perlu dilatih mengenali emosi dalam komunikasi digital. Belajar bahwa tidak semua teman daring adalah teman sesungguhnya dan tidak semua pesan positif punya niat baik. Dengan empati digital, bisa membaca situasi dengan lebih kritis. Memperkuat budaya dialog di komunitas game dan media sosial; komunitas minat seperti forum game, komunitas kreator, hingga kelompok hobi mesti menjadi ruang aman dan inklusif. Termasuk admin dan leader komunitas perlu dilatih mengenai deteksi dini radikalisasi digital bukan untuk memata-matai, tetapi untuk melindungi anggotanya.

Kontra narasi damai yang relevan untuk anak muda; melawan propaganda ekstremis tidak bisa hanya dengan ceramah formal. Mesti menggunakan bahasa anak muda, dengan meme damai, video singkat motivatif, cerita inspiratif, podcast santai tentang pergaulan sehat, hingga konten kreatif digital. Konten yang jauh lebih efektif dan ramah bagi anak muda. Keterlibatan influencer dan gamer populer; selebriti digital memiliki pengaruh kuat. Dapat menjadi penyebar kedamaian dengan pesan sederhana, bahwa permainan hanya untuk senang-senang, jangan percaya orang asing yang mengajak misi tambahan mencurigakan, laporkan jika ada konten radikal, jaga teman sesama gamer. Tentu, kekuatan budaya populer mesti diarahkan sebagai alat pencegah, bukan hanya hiburan.

Memang, tanggung jawab ini bukan hanya milik anak muda, semua pihak harus mengambil peran. Keluarga perlu membangun komunikasi hangat yang membuat anak tidak mencari perhatian dari pihak luar yang tidak dikenal. Sekolah dan perguruan tinggi perlu memperkuat literasi digital, bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana berpikir kritis dan beretika dalam dunia maya. Pemerintah mesti memperkuat patroli digital dan membangun kolaborasi dengan platform global untuk memutus rantai konten radikal.

Ruang digital telah menjadi bagian dari kehidupan modern, tempat anak muda bertumbuh, berkreasi dan bermimpi. Namun ruang itu juga harus dijaga agar tidak berubah menjadi hutan belantara yang membahayakan masa depan. Ketika ruang digital menjadi medan perebutan pikiran, maka perisai terbaik yang harus dimiliki anak muda; kesadaran kritis, empati, dan kemampuan membangun komunikasi damai.

Keluarga sebagai pelindung pertama, bahwa keluarga yang tidak harmonis menjadi celah utama. Untuk itu, integrasi komunikasi damai mesti dimulai dari rumah, lebih banyak dialog, komunikasi hangat, pengawasan digital, pendampingan emosional. orang tua tidak harus memahami teknologi secara mendalam yang penting hadir sebagai tempat cerita dan perlindungan. Membangun generasi digital yang tangguh dan damai, kompleksitas ancaman digital, integrasi komunikasi damai mesti menjadi pendekatan nasional yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas digital, keluarga, dan terutama anak muda.

Langkah strategis yang perlu diperkuat antara lain; pendidikan komunikasi damai, literasi digital berbasis pencegahan radikalisme. Sekolah, kampus, pesantren perlu memasukkan materi seperti tanda-tanda rekrutmen digital, cara melapor konten ekstrem, etika game online, nilai-nilai kemanusiaan, toleransi dan kearifan lokal. Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi kemampuan moralitas dna mentalitas.

Memperkuat dan memperluas kolaborasi BNPT, Densus, Komdigi, KemenPPPA dan stakeholders ke lingkungan anak muda, sekolah, kampus, pesantren, dayah,  ruang kreator digital, dan platform game internasional. Membangun Zona Damai Digital Anak Muda sebuah ekosistem daring ramah pemuda yang berisi konten inspiratif, akses konseling digital, komunitas hobi positif, pelatihan kreator muda anti radikalisme.  Memperkuat mekanisme pelaporan anak dan remaja dengan aplikasi khusus atau hotline digital dapat dibuat agar anak muda bisa melapor secara aman ketika seseorang berusaha merekrut mereka.

Anak muda sebagai penjaga masa depan damai, integrasi komunikasi damai bukan hanya alat, tetapi budaya yang harus dibangun. Dunia digital memang penuh risiko, tetapi sekaligus penuh peluang. Anak muda tidak boleh dibiarkan menjadi korban propaganda kekerasan. Mesti disiapkan menjadi agen damai digital yang mampu menggunakan teknologi untuk membangun persaudaraan, kreativitas, dan kolaborasi.

Jika komunikasi damai benar-benar terintegrasi dalam keluarga, sekolah, kampus, pesantren, dayah, komunitas digital, dan ruang publik, maka bukan hanya melindungi anak muda dari rekrutmen terorisme tetapi juga sedang membangun masa depan yang lebih aman, lebih kuat, lebih harmonis, lebih manusiawi.

Menjaga pikiran anak muda bukan hanya persoalan keamanan, tetapi juga persoalan masa depan bangsa. Jika ruang digital dapat diisi dengan nilai-nilai damai, kreativitas, inovatif, inklusif, keberagaman, toleransi, harmoni dan mental well-being, maka anak muda akan tumbuh menjadi generasi yang kuat, cerdas, dan tidak mudah dimanfaatkan yang ingin menebar kebencian, kekerasan dan lainnya. Di tangan anak muda yang sadar, ruang digital bukan lagi menjadi medan perebutan pikiran, tetapi menjadi ruang kolaborasi untuk membangun yang lebih damai dan beradab. Semoga

 

*Dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unimal

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait