BANDIT-BANDIT KORPORAT EKOSIDA GLOBAL

Oplus_131072

(Dibalik Citra Komunikasi Kapitalisme Greenwashing)

Oleh: Kamaruddin Hasan*

Kedua; Korporat atau Corporate adalah badan usaha atau perusahaan besar yang didirikan oleh sekelompok orang, beroperasi secara terstruktur dengan dasar hukum yang jelas, serta bertujuan utama mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal dari pemilik, penjualan saham dan memiliki sistem kerja yang formal dan profesional.

Ketiga; Komunikasi Kapitalisme-Greenwashing merupakan kejahatan komunikasi yang sengaja dipoles. Bandit-bandit ekosida global tidak bekerja dengan kekerasan semata, namun bekerja dengan strategi komunikasi yang canggih, salah satunya dengan strategi greenwashing. Praktik komunikasi dengan menampilkan citra ramah lingkungan untuk menutupi praktik perusakan. Misal dengan laporan keberlanjutan, program CSR, penanaman simbolik ribuan pohon, kampanye net zero sering kali lebih berfungsi sebagai manajemen citra ketimbang perubahan substantif. Dalam kacamata komunikasi, greenwashing merupakan kebohongan yang dilembagakan bukan melalui dusta terang-terangan, tetapi melalui seleksi informasi dan manipulasi makna.

Masalahnya, greenwashing sering diterima dan direproduksi oleh media. Media tidak selalu berbohong, tetapi sering kali terjebak dalam logika akses, iklan dan kepentingan modal. Akibatnya, suara rakyat, korban, aktivis lingkungan kalah nyaring dibandingkan rilis pers korporasi. Ekosida bukan hanya soal rusaknya alam, tetapi juga rusaknya komunikasi kemanusiaan. Rakyat terdampak sering tidak memiliki ruang bicara yang setara. Ketika melawan, suaranya dicap emosional, tidak ilmiah atau menghambat pembangunan.

Dalam situasi inilah hadir kekerasan simbolik, ketika bahasa, regulasi dan wacana digunakan untuk membungkam. Data AMDAL sulit diakses, proses konsultasi publik bersifat formalitas dan kearifan lokal, pengetahuan lokal dianggap tidak relevan dibandingkan kajian teknokratis. Bahkan rakyat-korban mengalami penghapusan ganda; sebagai korban ekologis dan sebagai subjek komunikasi. Korban kehilangan tanah, sekaligus kehilangan suara.

 

Ekosida global tidak selalu datang dengan suara ledakan, sering hadir dalam bentuk yang lebih sunyi dengan laporan keberlanjutan, iklan hijau dan etalase supermarket yang rapi. Di balik bahasa ramah lingkungan itu, beroperasi bandit-bandit ekosida korporat global perusahaan raksasa yang merusak ekosistem, sambil memoles citra melalui komunikasi kapitalisme dan greenwashing.

Ekosida sebagai proyek terstruktur kapitalisme dunia, ekosida hari ini bukan lagi praktik tersembunyi di pinggiran dunia. Hadir sebagai proyek global yang terorganisir, dijalankan oleh segelintir korporasi raksasa lintas negara, didukung oleh lembaga keuangan internasional dan dinormalisasi melalui bahasa pembangunan. Berbagai laporan ilmiah dan investigasi global menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem berskala planet tidak terjadi secara acak, melainkan terkonsentrasi pada aktor-aktor ekonomi tertentu.

Berbagai riset internasional, seperti yang dilakukan oleh studi emisi historis perusahaan energi fosil, dikutip luas dalam laporan ilmiah dan media internasional (Nature Climate Change, Carbon Majors Report). Menunjukkan bahwa krisis iklim dan kehancuran ekosistem dunia tidak disebabkan oleh umat manusia secara umum, melainkan oleh segelintir korporasi besar. Laporan ilmiah yang banyak dirujuk menyebutkan bahwa kurang lebih 20 perusahaan energi fosil bertanggung jawab atas porsi signifikan emisi karbon historis dunia, emisi yang memicu banjir, longsor, kekeringan dan gelombang panas ekstrem di berbagai belahan bumi.

Sebut saja, perusahaan seperti Saudi Aramco, ExxonMobil, Chevron, BP, Shell, dan Gazprom tercatat sebagai kontributor terbesar emisi karbon historis sejak revolusi industri. Studi lain mengaitkan langsung emisi perusahaan-perusahaan minyak dan gas besar dengan peningkatan gelombang panas ekstrem, banjir, kekeringan dan kematian manusia. Bahwa, kerusakan ekologi tidak lagi bersifat abstrak, tetapi berwujud penderitaan manusia yang konkret.

Ekosida juga bekerja melalui rantai pasok global, investigasi Greenpeace dan lembaga lingkungan internasional menunjukkan bahwa industri kelapa sawit, kedelai, daging dan pulp & paper berkontribusi besar terhadap deforestasi tropis, terutama di Indonesia, Brasil, dan Afrika Tengah. Perusahaan perdagangan komoditas raksasa seperti Wilmar, Cargill, dan JBS, serta jaringan pemasok yang terhubung dengan merek global produk konsumen, berulang kali dikaitkan dengan perusakan hutan, konflik lahan dan degradasi ekosistem. Ironisnya, produk-produk hasil ekosida ini hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat global, disinilah komunikasi kapitalisme-greenwashing bekerja, kejahatan ekologis disembunyikan di balik kemasan konsumsi.

Studi lain dari Global Environmental Change menemukan bahwa dari lebih dari 5.500 perusahaan yang dianalisis di Environmental Justice Atlas, 104 di antaranya terlibat dalam sekitar 20% dari total konflik lingkungan dan sosial global. Perusahaan-perusahaan ini disebut superconflictive karena terhubung dengan konflik berulang akibat operasi extractive industries dan proyek infrastruktur yang sering menabrak hak rakyat dan kekayaan ekosistem. Mayoritas perusahaan merupakan multinasional dari negara maju Global North, sementara dampak kerusakan paling terasa di Global South negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin mencerminkan asimetri kekuasaan ekonomi dan lingkungan.

Artinya kerusakan iklim dan ekosistem dunia sangat terkonsentrasi pada segelintir aktor korporasi besar, terutama di sektor energi fosil, tambang, agribisnis dan kehutanan. Kurang dari dua lusin perusahaan energi fosil tercatat sebagai mendorong pemanasan global, cuaca ekstrem dan bencana ekologis. Namun, di ruang publik, perusahaan-perusahaan itu jarang disebut sebagai pelaku kejahatan. Mereka hadir sebagai sponsor konferensi iklim, mitra transisi energi dan pelopor pembangunan berkelanjutan. Ekosida pun tidak pernah disebut sebagai kejahatan, melainkan sebagai dampak Pembangunan, hadir sebagai sponsor konferensi iklim, mitra transisi energi dan pengusung masa depan hijau. Bahasa yang digunakan selalu optimistis. Kerusakan disebut tantangan. Eksploitasi disebut optimalisasi. Ekosida direduksi menjadi dampak yang dapat dikelola. Tentu bahasa ini bukan kebetulan, namun sebagai strategi.

Di sinilah kejahatan dipoles lewat komunikasi kapitalisme—greenwashing, laporan Greenpeace International, Investigations on Global Commodity Supply Chains, menggambarkan ekosida global tidak hanya terjadi di lokasi tambang dan ladang minyak. Namun bersembunyi di balik rak supermarket dunia. Produk-produk yang tampak biasa; sabun, cokelat, makanan olahan, kosmetik, kertas, hingga bahan bakar, dan lainnya sering terhubung dengan rantai pasok yang menghancurkan hutan tropis dan ruang hidup rakyat, pengetahuan lokal, adat budaya dan kearifan lokal.

Industri kelapa sawit global sebagai contoh paling nyata, berbagai investigasi organisasi lingkungan, seperti laporan Greenpeace Indonesia & Friends of the Earth, deforestasi sawit dan rantai pasok global, menunjukkan bahwa ekspansi sawit telah mendorong deforestasi besar-besaran di Indonesia. Nama-nama perusahaan dagang komoditas dan merek global berulang kali muncul dalam laporan tersebut, walau mereka mengklaim komitmen nol deforestasi. Hutan ditebang di Aceh dan Sumatera, tetapi produknya dipasarkan di Eropa dan Amerika dengan label berkelanjutan.

Investigasi Greenpeace pernah memaparkan bahwa rantai pasokan minyak sawit global berkontribusi besar terhadap deforestasi besar-besaran di Indonesia. Perusahaan seperti Wilmar International disebut masih terlibat dalam perusakan hutan dan konflik lahan, sementara merek-merek global seperti Unilever, Nestlé, Colgate-Palmolive, PepsiCo, dan Mondelez terhubung ke pemasok yang merusak hutan tropis demi minyak sawit meskipun secara publik mengklaim praktik yang bersih. Memperlihatkan bagaimana produk sehari-hari dipasok melalui jaringan yang merepresentasikan ekosida tersembunyi di balik rak supermarket

Di Aceh dan Sumatra, pola ini terasa nyata, alih fungsi hutan untuk sawit dan tambang mengubah daerah tangkapan air. Sungai menyempit, tanah kehilangan daya serap. Ketika hujan lebat datang, banjir dan longsor menjadi keniscayaan. Namun dalam komunikasi resmi, peristiwa itu kembali disebut sebagai bencana alam, bukan sebagai akibat kebijakan tata ruang dan ekonomi ekstraktif. Bahasa ini tidak netral, namun bekerja sebagai alat pembebasan tanggung jawab. Dengan menyebut banjir sebagai takdir alam, keterlibatan korporasi dan negara menguap dari percakapan publik. Terkadang yang tersisa hanya empati sesaat, bantuan darurat, lalu lupa.

Termasuk peran lembaga keuangan global memperparah keadaan, laporan koalisi organisasi masyarakat sipil internasional; Koalisi NGO Internasional (Rainforest Action Network, BankTrack, dan lain-lain), bahwa pendanaan bank terhadap sektor perusak hutan pasca-perjanjian Paris mencatat bahwa triliunan dolar dana bank dan investor terus mengalir ke sektor-sektor berisiko tinggi terhadap hutan dan ekosistem, termasuk sawit, tambang dan energi fosil. Ironisnya tentu, lembaga yang sama, aktif mempromosikan kebijakan ESG (Environmental, Social, Governance) dan investasi hijau.

Diantaranya tercakup grup besar seperti JBS (Brasil), Cargill (AS), serta grup bisnis yang terlibat aktivitas di Indonesia; Royal Golden Eagle dan Sinarmas. Menunjukkan bahwa dana investasi institusional sering mendukung aktivitas yang mempercepat deforestasi, degradasi lahan dan konflik agrarian, meskipun secara resmi juga mempublikasikan kebijakan ramah lingkungan.

Tentu, tidak ada ekosida tanpa modal, perspektif komunikasi politik ekonomi, bank dan investor berperan sebagai aktor ekosida yang tidak terlihat, karena jarang muncul di garis depan konflik lingkungan, tetapi menentukan arah pembangunan melalui keputusan pendanaan. Bank dan lembaga keuangan global bekerja sebagai pendana senyap ekosida.

Beginilah wajah ekosida yang dilegalkan, ekosida tidak bekerja di ruang gelap, tetapi di ruang terang; laporan tahunan, iklan televisi, media baru, media sosial dan rak-rak ritel global. Rakyat sebagai Konsumen hanya melihat produk akhir, seperti hilangnya hutan, sungai tercemar dan lainnya, sedangkan rakyat, komunitas adat kehilangan ruang hidup.

Dalam perspektif komunikasi kritis, hal ini merupakan kekerasan simbolik dan wacana. Korporasi tidak membantah kerusakan ekologis; mereka cukup memastikan bahwa kerusakan itu tidak pernah dikaitkan langsung dengannya. Media, sadar atau tidak, sering ikut mereproduksi narasi ini melalui rilis pers dan jargon pembangunan.

Tentu, musibah Aceh dan Sumatra bukan sekadar peristiwa alam, merupakan pesan yang terus diabaikan. Pesan tentang ekosistem yang runtuh, tata ruang yang rusak dan sistem ekonomi yang menormalisasi kehancuran. Pertambangan misalnya, sering dikomunikasikan sebagai motor pembangunan daerah, tetapi kenyataannya meninggalkan lanskap rusak, pencemaran sungai dan konflik berkepanjangan dengan masyarakat lokal.

Sekali lagi, bahasa pembangunan berfungsi sebagai alat normalisasi kehancuran. Namun, seperti biasa, pesan itu segera diredam oleh bahasa resmi; curah hujan tinggi, cuaca ekstrem, anomali iklim. Semua terdengar netral, tidak ada pelaku, tidak ada penanggung jawab dan disinilah komunikasi bekerja sebagai alat kekuasaan.

Aceh—Sumatra bukan pengecualian, karena bagian dari pola ekosida global, hilangnya Gampong-Gampong dan nyawa di Aceh-Sumatera hari ini sebagai dampak dari keputusan ekonomi yang dibuat jauh dari sana; di ruang rapat korporasi dan pasar global. Namun selama bahasa pembangunan dan keuntungan terus mendominasi, ekosida akan tetap dipahami sebagai nasib bukan kejahatan.

Korporasi ekosida global memahami satu hal bahwa persepsi rakyat lebih menentukan daripada fakta ekologis. Sehingga, alih-alih menghentikan praktik destruktif, malah membangun narasi hijau. Laporan keberlanjutan dicetak tebal. Iklan bertema alam diperbanyak. Istilah net zero, ESG dan responsible sourcing diulang tanpa henti. Inilah strategi greenwashing praktik komunikasi yang memoles citra, bukan mengubah perilaku.

Kerusakan tetap berjalan, tetapi bahasa yang digunakan berubah. Deforestasi disebut alih fungsi lahan. Pencemaran air disebut insiden operasional. Penggusuran masyarakat adat disebut relokasi. Kejahatan tidak dihapus, hanya disamarkan oleh istilah teknokratis. Pada saat itulah bandit-bandit ekosida yang berantai; lokal, regional, nasional dan global paling berbahaya; merusak sambil terus berbicara atas nama masa depan.

Ekosida merupakan kejahatan bandit-bandit yang dikomunikasikan, dari berbagai data global tersebut, jelas bahwa bandit-bandit ekosida korporat global tidak hanya merusak alam, tetapi juga mengendalikan cara kerusakan itu dikomunikasi untuk dipahami. Tidak sekadar mengeksploitasi sumber daya, tetapi juga mengelola narasi, membingkai kehancuran sebagai pembangunan dan menggeser kesalahan ke alam, cuaca bahkan ke rakyat itu sendiri.

Aceh—Sumatra, Amazon, Afrika, dan wilayah lain di Global South hanyalah panggung penderitaan dari sistem yang sama, diproduksi oleh bandit-bandit korporat ekosida. Selama bahasa demi pembangunan dan keuntungan terus mengalahkan suara bumi dan kemanusiaan, maka ekosida akan terus diproduksi dan dinormalisasi oleh bandit-bandit korporat ekosida melalui parktik-praktik komunikasi kapitalisme greenwashing.

*Akademisi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Malikussaleh

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait