Oleh Kamaruddin Hasan*
Negara mestimya hadir sebagai pelindung, penjaga moral dan aktor utama yang memastikan keberlanjutan lingkungan demi kesejahteraan rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Institusi negara perlahan berubah menjadi negara para bandit bukan karena rakyatnya jahat, melainkan karena struktur kekuasaan diisi oleh elite yang membiarkan, bahkan memfasilitasi, kehancuran lingkungan demi keuntungan kelompok kecil. Rakyat menjadi penonton yang dipaksa menanggung nestapa bencana lingkungan.
Negara bahkan bersekutu dengan perusak lingkungan, fenomena ini muncul ketika kekuasaan politik berkelindan dengan kepentingan ekonomi para oligark. Izin-izin tambang dikeluarkan dengan mudah, hutan diubah menjadi komoditas, sungai-sungai diperlakukan sebagai saluran limbah industry dan tanah yang mestinya diwariskan kepada anak cucu, dijadikan arena eksploitasi tanpa kendali. Negara tidak lagi tegak sebagai wasit netral, tetapi berubah menjadi perantara para bandit lingkungan. Ketika aturan dibuat bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk memuluskan investasi rakus, maka negara kehilangan wajah moralnya. Pada titik ini, negara telah berubah menjadi alat yang melayani kerakusan bukan kesejahteraan.
Rakyat di pedalaman, pesisir dan kampung-kampung sebagai korban nyata dari keserakahan ini. Rakyat kehilangan semuanya; harta benda, sawah, Kesehatan, bencana ekologis datang berulang tanpa jeda, bahkan kehilangan nyawa. Ironisnya, ketika rakyat menuntut keadilan, tidak merusak lingkungan, mereka sering dianggap penghambat pembangunan.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru menunjukkan sikap dingin. Aparat seringkali hadir bukan untuk mengayomi, tetapi menjaga kepentingan perusahaan. Keamanan lebih diprioritaskan terhadap alat-alat berat yang merusak hutan, lingkungan alam, ketimbang rekomendasi masyarakat adat, petani, nelayan yang mempertahankan ruang hidupnya bahkan untuk makhluk hidup lainnya.
Nestapa Rakyat sebagai produk kebijakan; bencana alam, lingkungan, krisis ekologis bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Merupakan hasil dari keputusan politik yang salah arah. Ketika izin tambang, perambah hutan dan lainnya diberikan di daerah resapan air, maka banjir bandang dan longsor akan terus terjadi. Ketika hutan primer ditebang habis, maka krisis iklim menjadi keniscayaan. Ketika reklamasi dijalankan tanpa kajian ekologis, maka nelayan kehilangan masa depan.
Rakyat bukan hanya korban alam, tetapi korban kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang merusak sebagai tanda negara sedang dikendalikan oleh kepentingan para bandit-bandit yang hanya mementingan diri sendiri dan kelompoknya.
Negara semestinya berdiri di sisi rakyat, namun ketika orientasi politik berubah menjadi mesin akumulasi kekayaan bagi elite, pada saat yang sama kehilangan keberpihakan pada rakyat. Pada saat Negara kehilangan keberpihakannya, maka yang muncul kemudian negara yang gemar memproduksi slogan hijau, tetapi diam terhadap kerusakan yang nyata. Slogan pembangunan berkelanjutan hanya menjadi jargon bukan komitmen. Kedaulatan rakyat tergerus ketika ruang hidup dikorbankan atas nama investasi, inilah sebanarnya tragedi ekologis politik terbesar saat.
Negara semestinya tidak hanya dipahami sebagai struktur politik dan hukum, tetapi juga sebagai institusi etis yang bertanggung jawab menjaga harmoni antara manusia, alam dan pencipta (Allah SWT). Berangkat dari nilai dasar sebagai khalifah/pengelola bumi, amanah, berkeadilan dan kemaslahatan rakyat secara umum. Mestinya menempatkan lingkungan alam sebagai bagian integral dari tata sosialpolitik yang ideal bagi semua makhluk hidup. Negara yang sebenarnya bukan sekadar entitas kekuasaan, tetapi negara yang menjalankan misi moral dan ekologis, mengatur perilaku manusia agar selaras dengan prinsip keberlanjutan dan keseimbangan.
Negara semestinya dijalankan dengan prinsip keteraturan bersama sebagaimana alam kosmis ini. Alam dipandang sebagai sistem yang teratur oleh Allah SWT, sehingga pemerintah wajib mengelola sumber daya tanpa kerusakan. Negara yang cacat moral akan menghasilkan ketidakseimbangan sosial dan lingkungan. Tentu, dalam hal ini, Negara menuntut pemimpin yang memiliki akal sehat, dengan berbagai kebijakan untuk mencegah kerusakan bumi sebagai etika politik.
Bahkan Ibn Sina pemikir Muslim dalam karyanya dalam karyanya al-Siyāsāt menekankan negara bertugas menegakkan keadilan dan kemaslahatan, kesejahteraan manusia dengan keberlanjutan sumber daya alam, larangan penggunaan sumber daya secara berlebihan karena bertentangan dengan hikmah ilahi. Negara sebenarnya merupakan negara yang memastikan penggunaan alam demi kemaslahatan kolektif, bukan eksploitasi segelintir elite.
Juga Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, memberikan pemikiran penting tentang ekologi. Bahwa kemakmuran suatu negara bergantung pada keseimbangan alam. pertanian, air dan sumber daya. Negara yang zalim cenderung mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, melemahkan dan menghacurkan ekonomi bahka kehancuran sebuah negara. Negara yang sebenarnya Adalah negara yang mampu menjaga keseimbangan antara pengelolaan alam dan stabilitas sosial.
Sedangkan Seyyed Hossein Nasr dalam pandangannya, menegaskan bahwa krisis lingkungan sama dengan krisis spiritual. Negara yang ideal harus membangun kebijakan yang berbasis spiritualitas alam, negara yang mampu melindungi alam sebagai manifestasi tanda-tanda dari Allah SWT. Artinya, Negara yang sebenarnya, yang mampu mengintegrasikan etika spiritual, kebijakan ilmiah, pengelolaan ingkungan dan pendidikan ekologis. Aktivis lingkungan dan peraih Nobel Wangari Maathai, percaya bahwa keberlanjutan lingkungan sebagai bagian integral dari negara yang sebenarnya. Menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat.
Rakyat yang mengembalikan marwah Negara; Negara tidak boleh dibiarkan jatuh sepenuhnya ke tangan para bandit. Harapan ada pada suara rakyat, mahsiswa, pemuda, akademisi, jurnalis, masyarakat adat, aktivis lingkungan dan semua warga yang masih percaya bahwa bumi bukan sekadar sumber uang, tetapi rumah bersama. Pengetahuan, kesadaran ekologis, dan keberanian kolektif sebagai senjata paling kuat untuk membangun kembali negara yang berpihak pada rakyat dan alam. Negara yang waras dan adil yang mampu menjaga alamnya, mengutamakan keselamatan rakyat di atas segalanya.
*Pensyarah di Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Unimal



