Strategi Mencegah Preeklamsia Sebelum Menyerang

Oleh: Prof.Dr.dr. Rajuddin, SpOG(K).,Subsp.FER

Preeklamsia tidak datang dengan wajah marah, melainkan dengan tekanan darah yang perlahan naik dan nyawa yang perlahan terancam. Preeklamsia adalah paradoks kehamilan di satu sisi kehidupan baru bertumbuh, di sisi lain tubuh ibu berbalik melawan dirinya sendiri. Di ruang bersalin, diagnosis sering tiba terlambat saat waktu sudah begitu berharga.

Karena itu, arah baru obstetri modern bukan lagi menunggu tanda bahaya, tetapi mencegah dari hulu yaitu mengenali risiko sejak kunjungan pertama, menata keseimbangan metabolik sebelum konsepsi, dan selalu menumbuhkan kesadaran bahwa keselamatan ibu adalah buah dari sinergi antara ilmu, kebijakan, dan cinta.

 

Paradoks Kehamilan: Antara Kehidupan dan Ancaman

Preeklamsia adalah ironi biologis pada saat kehidupan baru bertumbuh di dalam rahim seorang ibu, justru sistem tubuhnya sendiri dapat menjadi ancaman. Penyakit preeklamsia ini bukan sekadar lonjakan tekanan darah, tetapi juga serangan diam-diam yang dapat merusak ginjal, hati, dan otak Ibu.

Di negara berkembang termasuk Indonesia, hipertensi peripartum masih menjadi penyebab utama kematian Ibu dan Bayi. Yang membuatnya menakutkan bukan hanya komplikasinya, tetapi cara penyakit ini datang pelan, nyaris tanpa gejala, lalu tiba-tiba menjelma menjadi eklamsia di ruang bersalin.

Dalam kenyataan seperti ini, pendekatan kuratif tidak lagi memadai. Dunia kedokteran kini beralih ke pencegahan proaktif, sebagaimana digariskan dalam Panduan Penatalaksanaan Hipertensi Peripartum InASH 2025. Sebuah strategi nasional yang menempatkan pencegahan primer, sekunder, dan tersier sebagai tiga pilar utama keselamatan Ibu dan Anak.

 

Pencegahan Primer: Mengenali dan Mengendalikan Risiko dari Hulu

Langkah awal mencegah preeklamsia adalah mengenali Ibu yang berisiko sejak kunjungan antenatal pertama. Panduan InASH 2025 menekankan pentingnya skrining dini terhadap faktor risiko seperti riwayat preeklamsia, hipertensi kronik, penyakit ginjal, lupus, obesitas, usia di atas 35 tahun, atau penggunaan teknologi reproduksi berbantu. Ibu dengan satu risiko tinggi atau dua risiko sedang harus segera mendapat pengawasan intensif dan rujukan tepat waktu.

Pendekatan ini menandai perubahan paradigma, dari menunggu gejala menjadi menangkap risiko. Bagi dokter dan bidan, skrining bukan sekadar prosedur administratif, melainkan langkah penyelamat nyawa. Panduan ini juga menyoroti sisi imunologis kehamilan, bahwa tubuh ibu perlu waktu untuk mengenali antigen dari ayah janin.

Paparan sperma yang berulang sebelum konsepsi diyakini membantu membangun toleransi imunologis, sedangkan kehamilan dari pasangan baru atau donor sperma lebih berisiko karena belum terbentuk keseimbangan imun ibu-janin.

Namun tantangan terbesar kini datang dari epidemi metabolik modern yaitu obesitas, resistensi insulin, dan stres oksidatif yang merusak fungsi endotel serta plasenta. Karena itu, pencegahan primer tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan gizi dan berat badan pra-konsepsi. Sebagaimana vaksin melindungi dari infeksi, pengendalian metabolik sebelum hamil adalah “vaksin biologis” untuk mencegah hipertensi peripartum.

 

Pencegahan Sekunder: Intervensi Farmakologis dan Gaya Hidup

Jika pencegahan primer berfokus pada mengenali risiko, maka pencegahan sekunder menitikberatkan pada intervensi dini untuk menghentikan perjalanan penyakit. Di sinilah ilmu farmakologi modern berperan. Aspirin dosis rendah kini dikenal sebagai tablet kecil dengan dampak besar. Dahulu sekadar pereda nyeri, kini menjadi “molekul pelindung” dalam perang melawan preeklamsia. Mekanismenya bekerja melalui tiga jalur utama:

Pertama, menyeimbangkan tromboxan dan prostasiklin, menjaga pembuluh darah tetap lentur dan aliran tetap lancar. Kedua, meningkatkan produksi aspirin-triggered lipoxin (ATL-4), mediator anti-inflamasi yang menenangkan badai sitokin dan memperbaiki fungsi endotel. Ketiga, memperkuat sintesis nitrit oksida (NO), memperlebar pembuluh darah dan meningkatkan perfusi plasenta.

Meta-analisis Roberge (2017) terhadap lebih dari 20.000 ibu hamil menunjukkan, penggunaan aspirin dosis rendah (75–150 mg/hari) sebelum usia kehamilan 16 minggu dapat menurunkan risiko preeklamsia onset dini hingga 90%. Sebuah bukti bahwa intervensi sederhana, bila berbasis sains dan dilakukan tepat waktu, mampu menyelamatkan begitu banyak kehidupan.

 

Kalsium dan Omega-3: Nutrisi yang Bekerja Seperti Terapi

Kalsium terbukti menurunkan risiko preeklamsia, terutama pada ibu dengan asupan kalsium rendah. Dengan dosis 1,5–2 gram per hari, kalsium membantu menstabilkan tekanan darah melalui pengurangan kontraktilitas otot polos vaskular dan pengaturan sistem renin–angiotensin–aldosteron.

Sementara itu, asam lemak omega-3 (EPA dan DHA) bekerja dengan cara menekan peradangan, menghambat produksi interleukin-6 dan TNF-α, serta meningkatkan prostasiklin dan nitrit oksida yang menjaga aliran darah ibu uteroplasenta. Efeknya bersinergi dengan aspirin, bersama-sama memperbaiki fungsi endotel, menurunkan stres oksidatif, dan memperpanjang usia kehamilan hingga waktu persalinan yang aman.

 

Pencegahan Tersier: Mengawal dari Ruang Bersalin

Ketika preeklamsia telah muncul, fokus pencegahan bergeser bukan lagi menghindari penyakit, melainkan mencegah komplikasi dan menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Di tahap ini, antenatal care (ANC) yang disiplin menjadi kunci utama. Pemantauan tekanan darah secara teratur, pemeriksaan laboratorium meliputi trombosit, fungsi hati dan ginjal, serta penilaian pertumbuhan janin harus dilakukan dengan ketelitian tinggi dan frekuensi yang tepat.

Tujuannya jelas yaitu menunda terjadinya komplikasi berat, mencegah eklamsia, dan menentukan waktu persalinan yang paling aman bagi ibu dan janin. Panduan InASH 2025 menegaskan pentingnya sistem rujukan yang cepat, terkoordinasi, dan bebas dari hambatan birokrasi. Setiap menit berarti, dan keterlambatan kecil dapat menjadi perbedaan antara harapan dan kehilangan.

Dalam konteks ini, dokter tidak lagi hanya berperan sebagai penyembuh, tetapi juga sebagai navigator risiko seorang pengambil keputusan klinis yang harus menimbang dengan cermat kapan intervensi dilakukan, kapan terapi konservatif dipertahankan, dan kapan janin siap menyambut dunia. Peran ini menuntut bukan hanya ketepatan klinis, tetapi juga kebijaksanaan moral dan empati yang mendalam.

 

Penutup

Pada akhirnya, preeklamsia bukan sekadar gangguan tekanan darah, melainkan ujian bagi ilmu pengetahuan, sistem kesehatan, dan empati kemanusiaan. Menguji sejauh mana kita mampu menjadikan sains sebagai alat diagnosis, juga sarana menjaga kehidupan. Pencegahan peripartum dalam panduan InASH 2025 mengajarkan bahwa keselamatan ibu tidak lahir dari teknologi semata, melainkan dari konsistensi yang sederhana.

Ketika dokter di ruang ANC bekerja dengan hati, suami di rumah memberi dukungan penuh, dan negara menegakkan kebijakan yang berpihak pada keselamatan ibu. Maka tidak ada lagi alasan seorang ibu kehilangan nyawa karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.

Pencegahan sejatinya bukan hanya tindakan medis melainkan adalah manifestasi cinta. Cinta seorang ibu untuk terus hidup, cinta ilmu untuk melindungi kehidupan, dan cinta masyarakat untuk memastikan bahwa setiap kelahiran membawa harapan, bukan kehilangan. (email:rajuddin@usk.ac.id)

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait