SEKJEND FKM-ACUT: BAHASA IBU YANG TERLUPAKAN

Zonamedia.co| Aceh Utara, 12 Mei 2025 – Di tengah arus globalisasi yang makin deras dan penetrasi budaya luar yang semakin masif, Bahasa Aceh kini menghadapi tantangan serius. Fenomena ini sangat nyata terlihat di wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe dua daerah dengan konsentrasi perguruan tinggi terbanyak di provinsi Aceh, yang sebagian besar mahasiswanya berasal dari luar daerah. Dalam keseharian, interaksi sosial pun lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa gaul, membuat penggunaan Bahasa Aceh di kalangan generasi muda semakin terpinggirkan.

Menurut data UNESCO pada 2019, Bahasa Aceh diklasifikasikan dalam level 3 dari 5 dalam skala keterancaman bahasa. Artinya, bahasa ini masih digunakan, namun hanya dalam konteks terbatas dan oleh kelompok usia yang lebih tua. Jika situasi ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Bahasa Aceh akan menyusul ratusan bahasa lain yang telah punah dan hilang dari peradaban dunia.

Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Mahasiswa Aceh Utara (FKM-ACUT) menyampaikan kegelisahannya terhadap kondisi ini. “Bahasa Aceh adalah bagian dari identitas dan peradaban kita. Saat anak muda Aceh enggan menggunakan bahasa daerah mereka sendiri, maka kita sedang menuju fase krisis kebudayaan,” ujar Sekjen FKM-ACUT. Ia menegaskan pentingnya peran semua pihak untuk ikut serta dalam upaya pelestarian. “Perlu dilakukan upaya pengawalan untuk membangkitkan dan memperkuat peradaban guna menyelamatkan identitas Aceh,” Ujar Maulana Fikri Saputra.

Kondisi ini menjadi alarm bagi seluruh elemen masyarakat. Jika Bahasa Aceh punah, yang hilang bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi juga cara berpikir, nilai-nilai budaya, dan kearifan lokal yang telah hidup berabad-abad lamanya. Maka, diperlukan langkah-langkah kolektif dan menyeluruh untuk menghidupkan kembali kebanggaan berbahasa daerah.

Upaya pelestarian harus dimulai dari ruang paling mendasar yakni keluarga dan tempat pendidikan. Keluarga sebagai unit sosial pertama bagi anak-anak perlu menumbuhkan kebiasaan menuturkan Bahasa Aceh di rumah. Sedangkan di lingkungan pendidikan, pemerintah dapat mewajibkan kembali pelajaran Bahasa Aceh sebagai muatan lokal di seluruh jenjang pendidikan.

Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat sudah memberikan dasar hukum yang kuat. Namun implementasinya masih minim. Karena itu, pemerintah daerah harus menekankan Majelis Adat Aceh di setiap kabupaten/kota untuk mengawasi dan menjaga kelestarian bahasa, “Penting untuk terus mengawal kebangkitan dan penguatan peradaban demi menjaga jati diri Aceh. Bahasa adalah akar. Jika kita mencabutnya, kita akan kehilangan pijakan.” Tegas Maulana Fikri Saputra selaku Sekjend FKM-ACUT

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News

Pos terkait