Kiat Agar Pemilih Tidak Golput

Anna Miswar, M.Ag
Alumnus Sekolah Demokrasi Aceh Utara

ZONAMEDIA.CO | LHOKSEUMAWE – Istilah “GOLPUT” atau Golongan Putih merupakan sebuah fenomena yang kerap terdengar mendekati hari pemilihan umum (Pemilu). Berbagai lini massa menggemakan ajakan menjadi pemilih cerdas dan tidak Golput. Golput identik dengan sikap cuek, apatis, dan tidak mau cawe-cawe politik. Golongan ini pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Realitas yang ada membuktikan bahwa di setiap pemilu mulai dari tahun pertama pemilu hingga saat ini dalam pemilihan umum angka pemilih yang tidak sah atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu saja ditemukan.

Golongan putih atau golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering artikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu calon tertentu atau partai peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk menentukan pemimpinnya, (Badri Khaeruman: 2004).

Read More

Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Perilaku tidak memilih seperti ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya.

Menurut Indra J. Piliang (2014) peneliti dari Centre for strategic and International Studies (CSIS) golput terbagi ke dalam tiga kategori, Pertama, golput ideologis yaitu golput yang disebabkan oleh adanya penolakan terhadap sistem ketatanegaraan. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu hanya bagian dari korporasi dari elit-elit politik yang sebenarnya tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput semacam ini memandang bahwasannya undang-undang pemilu hanyalah bahagian dari rekayasa segelintir orang untuk mencari keuntungan dan kenikmatan. Kedua, golput pragmatis yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang golput ini memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput model ini mirip dengan fardhu ‘ain dan fardu kifayah dalam hukum Islam, yakni bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang tidak ikut memilih tidak ada dosa politik kolektif. Orang-orang yang mencari nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai macam alasan termasuk dalam golput model ini. Sikap mereka setengah-setengan memandang pemilu, antara percaya dengan tidak. Ketiga, golput politis yaitu golput yang disebabkan oleh faktor-faktor politik, contohnya golput yang dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon tertentu yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya kepada Negara dan juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya berubah atau sistemnya secara sebagian juga merugikan mereka.

Menurut Efriza (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang berperilaku tidak memilih, yaitu faktor sosial ekonomi, faktor sosiologis dan faktor kepercayaan politik. Berdasarkan data yang yang dilansir BBC News Indonesia, selasa (19/12), bahwa pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi Darmawan, memprediksi angka golongan putih (golput) di Pemilu 2024 berada di kisaran antara 18%-20% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2009 silam bahwa “masyarakat yang golput atau tidak memilih pada pemilu hukumnya haram”. Fatwa tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya disebut tidak bertanggung jawab terhadap jalannya bangsa.

Cholil, yang dilansir dari MUIDigital, Sabtu (16/12), menyatakan bahwa dalam fatwa yang dikeluarkan pada Ijtima Ulama II se-Indonesia pada tahun 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama.

Memang Istilah golput tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam unsur perbuatan pidana yang tersirat bersinggungan dengan “golput” terdapat di UU Pemilu, pasal 515 yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Harus dipahami bahwa Golput bukanlah hal yang lumrah, karena golput bisa berdampak negatif terhadap kualitas demokrasi, legitimasi hasil pemilu, dan kesejahteraan rakyat.

Ada beberapa dampak dari golput diantaranya:

  1. Menurunkan kualitas demokrasi.
    Golput mengurangi partisipasi politik rakyat yang merupakan salah satu indikator kualitas demokrasi. Golput menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan rakyat terhadap sistem politik dan lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, golput bisa melemahkan fungsi kontrol sosial rakyat terhadap pemerintah dan calon pemimpin.
  2. Mengurangi legitimasi hasil pemilu.
    Golput bisa mempengaruhi hasil pemilu yang tidak mencerminkan aspirasi mayoritas rakyat. Golput bisa menyebabkan terpilihnya calon pemimpin yang tidak berkualitas atau tidak berkompeten. Selain itu, golput juga bisa menimbulkan keraguan dan kontroversi terhadap hasil pemilu yang bisa memicu konflik sosial.
  3. Menghambat kesejahteraan rakyat.
    Golput bisa berimbas pada kualitas kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah atau calon pemimpin yang terpilih. Golput bisa menyebabkan terabaikannya kepentingan rakyat yang tidak menggunakan hak suaranya. Selain itu, golput juga bisa menghambat proses pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Oleh sebab itu penting ada Upaya untuk meminimalisir angka golput, untuk menghadapi pemilu yang akan mendatang.

Ada pun Upaya yang harus dilakukan yaitu:

  1. Meningkatkan partisipasi politik rakyat.
    Salah satu cara mengatasi golput adalah dengan meningkatkan partisipasi politik rakyat melalui berbagai strategi, seperti edukasi, sosialisasi, kampanye, diskusi, debat, survei, atau referendum. Partisipasi politik rakyat bisa meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab rakyat terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
  2. Meningkatkan edukasi politik rakyat.
    Cara lain mengatasi golput adalah dengan meningkatkan edukasi politik rakyat melalui berbagai media, seperti buku, majalah, koran, radio, televisi, internet, atau media sosial. Edukasi politik rakyat bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang sesuai dengan kriteria dan kepentingan mereka, sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
  3. Meningkatkan kontrol sosial rakyat terhadap proses dan hasil pemilu.
    Cara selanjutnya mengatasi golput adalah dengan meningkatkan kontrol sosial rakyat terhadap proses dan hasil pemilu melalui berbagai mekanisme, seperti pengawasan, pengaduan, laporan, atau demonstrasi. Kontrol sosial rakyat bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dan calon pemimpin terhadap rakyat.
  4. Kemudahan akses bagi pemilih.
    Memastikan fasilitas dan prosedur pemilihan mudah diakses oleh semua masyarakat, termasuk fasilitas untuk pemilih lanjut usia atau berkebutuhan khusus.
  5. Pemanfaatan teknologi dan informasi.
    Memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan informasi terkait Pemilu, seperti melalui aplikasi atau website resmi, termasuk informasi mengenai lokasi TPS dan cara memilih.
  6. Kerjasama Stakeholder.
    Melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa, untuk secara bersama-sama meningkatkan partisipasi pemilih.

Dengan mengimplementasikan Upaya-upaya tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat golput dan meningkatkan partisipasi dalam Pilkada 2024. Golput adalah hak setiap warga negara, namun demikian, juga merupakan tanggung jawab yang harus dipertimbangkan dengan matang. Golput bisa berdampak negatif bagi kualitas demokrasi, legitimasi hasil pemilu, dan kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, golput harus diatasi sejak dini, dan upaya mengatasi golput perlu dilakukan dengan meningkatkan partisipasi, edukasi, kontrol sosial masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu, kemudahan akses bagi pemilih, pemanfaatan teknologi dan informasi, dan membangun kerjasama dengan stakeholder. Mari kita gunakan hak pilih kita dengan rasional, bijak dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan 5 tahun kedepan, dan harapan besar terwujudnya “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”. Semoga…

-----------

Simak berita pilihan dan terkini lainnya di Google News